Kamis, 14 Oktober 2010

BUKU TTS



 Bara memandangi buku TTS lecek di tangannya. Senyumnya terkembang. Buku TTS ini begitu berharga, buku TTS inilah yang mengakrabkan dirinya dengan Senja. Tidak disangka kalau istrinya itu masih menyimpannya. Dibuangnya tatapannya ke depan. Tampak istrinya yang baru dinikahinya seminggu itu sibuk melayani pembayaran para pelanggan yang usai menikmati makanan dari warung makannya. Tidak sengaja mereka bertemu pandang. Bara melempar senyum. Senja mengernyitkan dahinya sejenak, melihat suaminya mengangkat buku TTSnya, dia pun balas tersenyum. Ah, Bara sampai terpesona. Istrinya itu begitu manis. Senyumnya selalu saja membuatnya goyah. Senyum manis yang lengkap dengan sepasang lesung yang begitu dalam. Rasanya dia ingin mencubit pipi itu karena gemas. Bara kembali menatap buku TTS di tangannya. Ingatannya melayang.

   ”Ayam bakarnya satu. Paha saja.”
   Bara mengangguk. Dengan cekatan dia segera mengerjakan pesanan gadis cantik yang kala itu datang. Diliriknya sekilas lewat ujung matanya. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Banyak gadis cantik yang makan di warung ayam bakar miliknya, tapi belum ada yang semenarik ini. Dia tidak terlalu berani untuk curi-curi pandang. Ah, Bara memang sedikit pemalu. Dia pun kembali menyibukkan diri.
Tapi tak lama. Jantungnya kembali berdegup lebih kencang dari biasanya. Gadis itu mendekatinya, menoleh-noleh. Lalu matanya berbinar, meraih buku TTS lecek yang terselip di bawah piring yang berisi dedaunan lalapan.

   “Hm..Mas, aku pinjam boleh, ya…”
   Belum sempat Bara mengangguk, gadis itu sudah membawa buku TTSnya kembali ke mejanya. Bara tersenyum tapi cuma dalam hati. Kembali dia sibuk. Sekarang sepertinya dia berani curi-curi pandang karena si gadis tampak menyembunyikan wajahnya yang terbenam diantara helaian rambutnya yang indah, sibuk mengisi buku TTS. Ah, Bara sampai terlena, kalau saja dia tak ingat pada ayam bakar yang sedang berada di pemanggangan, bisa-bisa ayam bakar itu jadi gosong. Dengan cekatan dia mengangkatnya, meletakkannya pada sebuah piring. Lalu dia segera menuju meja gadis itu meski dengan sedikit gemetaran.
   ”Silahkan...”
   Gadis itu terlonjak, menatapnya heran,”Lho..kok di letakkan di sini?”
   Bara lebih heran lagi. Memangnya harus diletakkan di mana? Tidak ada pelanggan lain selain gadis itu, dan dia tidak mungkin salah, ini adalah pesanannya. Pikirnya bingung.
   ”Hm, maksudnya Mbak gimana?”
   Gadis itu tampak berpikir sejenak,”Memangnya saya tadi tidak bilang ya, kalau pesanannya dibungkus. Akan saya bawa pulang…”
   Bara terlonjak, menggeleng cepat. Gadis itu kembali tersenyum,”Ah, kalau begitu maaf, ya…bisa kan kalau sekarang dibungkus saja…”
   Bara segera mengangguk dan dengan segera menuntaskan pesanan gadis tadi. Sejenak hatinya gelisah. Ah, aku tidak akan melihatnya lagi. Keluh hatinya. Meski dia bermaksud bergegas menyelesaikannya, tetap saja nalurinya seperti melarang. Dia memperlambat kerjanya, sambil kembali curi-curi pandang, gadis itu tampak kembali larut mengisi buku TTS miliknya.
   “Ini, Mbak…” Ujarnya sambil meletakkan bungkusan di meja. Tampak gadis itu terlonjak. Bara sampai merasa tidak enak sudah mengagetkannya,”Ah, maaf saya bikin Mbak kaget...”
   Gadis itu tersenyum sambil menggeleng pelan,”Nggak pa-pa..” Jawabnya sambil membuka dompet. Mengeluarkan selembar uang dua puluhan ribu. Bara menerimanya dan dengan segera memberikan kembaliannya. Tampak gadis itu memandangi buku TTS miliknya. Bara langsung tanggap,”Dibawa saja Mbak bukunya..nggak pa-pa...”
   Ah....seketika Bara semakin lemas. Tidak tahan dia memandang binar bahagia yang tertangkap oleh matanya. Rasanya ingin sekali dia mengecup mata cantik itu.
   “Beneran nih, Mas...boleh dibawa…?”
   Bara mengangguk sambil tersenyum. Berusaha keras dia untuk memberikan senyuman termanis, meski jantungnya sudah hendak copot.
   “Wah makasih, ya...Hm, lain kali akan saya ganti…”
Bara belum sempat menjawab, gadis itu sudah berlalu., Bara hanya mampu memandang sendu. Ah, mengapa rasanya sebelah kakinya seperti ikut bersama gadis itu. Gadis cantik yang bahkan dia belum tahu siapa namanya. Rasanya timpang!

*****


   Bara menatap jam dinding. Hatinya begitu resah. Senja belum juga datang. Akhirnya dia tahu juga nama gadis itu. Gadis itu sudah menjadi langganan tetapnya sekarang ini. Ditatapnya buku TTS yang masih baru, masih mulus. Buku itu pemberian Senja.
   “Ini buku TTS yang aku janjikan..ini untuk mengganti buku Mas yang saya bawa tempo hari…” Begitu kata gadis itu kemarin lusa. Awalnya Bara menolak, tapi Senja memaksanya, akhirnya diterimanya juga sambil mengangguk dan tersenyum. Sengaja tidak dia isi kolom-kolom yang berbaris rapi di dalamnya. Dia begitu ingin menjaganya seperti benda keramat saja. Dibelainya pelan, kembali dia menatap jam dinding. Hatinya bukan hanya resah karena menunggu gadis pujaan. Tapi juga resah memikirkan permintaan ibunya yang hendak menjodohkan dirinya dengan seorang gadis. Bara tidak mungkin lagi bisa menyerahkan cintanya pada gadis lain selain Senja. Tapi Bara begitu menyayangi ibunya. Rasanya dia akan merasa berdosa bila tidak memenuhi keinginannya. Ibunya itu sudah sepuh. Tinggal dia satu-satunya anaknya yang belum menikah. Semua kakaknya sudah lama berkeluarga, sudah banyak memberikan ibunya cucu. Ah...Bara mendesah dalam hati.
   ”Melamun, Mas?”
   Bara terlonjak. Ditatapnya sepasang mata bening yang sedang menatap ke arahnya. Dia mencoba tersenyum mengusir kegundahan hatinya. Bagaimana bisa melepaskan gadis cantik di depannya ini? Gadis yang sudah mencuri hatinya hingga habis tak bersisa apa-apa.

   ”Ada apa, sih? Kayanya murung sekali?” Tanya Senja sekali lagi. Bara cuma menggeleng pelan. Bagaimana bisa dia berterus terang. Mulutnya serasa terkunci.
Senja meraih buku TTS dari tangan Bara,”Daripada sedih, lebih baik isi TTS ini saja..”
   ”Eh, jangan..! Ini tidak boleh diisi siapa-siapa...ini adalah benda paling penting yang aku punya...aku saja tidak berniat mengisinya...” Sahutnya sambil kembali meraih buku TTS itu. Senja hanya bisa menatap bingung. Bara menyimpan buku TTS itu dibawah piring tempat dedaunan lalapan seperti biasa.
   ”Hm, kau akan pesan apa Nona?” Tanyanya sedikit nakal. Bara merasa sudah cukup mengenal gadis di depannya itu, sehingga mulai agak berani.    
   Senja tersenyum menggeleng pelan,”Aku tidak akan pesan apa-apa sebelum kau mau berbagi keresahan padaku...aku ini tidak bisa kau bohongi...aku tahu kau sedang resah...ada apa?”

   Belum juga Bara sempat menjawab. Datang segerombolan pelanggan yang langsung membuat Bara sibuk. Memang tidak biasanya warung makannya ini di datangi pelanggan sore-sore begini. Biasanya warungnya ini ramai saat makan siang dan makan malam saja. Andai ada yang datang di selain waktu jam makan, biasanya tidaklah sebanyak ini. Senja menghela nafas, lalu keluar dari warung makan milik Bara. Bara hanya bisa menatap sendu.


*****


   Bara kembali memandangi buku TTS di tangannya. Diraba dan dibelainya lembut, seolah dia tidak sedang membelai sebuah buku. Di sudut ruangan tampak ibunya yang duduk di kursi goyang. Menatap ke arahnya. Bara hanya bisa tertunduk.
   ”Kau harus lihat orangnya dulu, Bara...baru kau boleh menolaknya.”
   Bara menghela nafas berat,”Ah, Ibu..ini sudah kesekian kalinya ibu menjodohkan saya...saya ini sudah punya pilihan sendiri, Bu..saya kan bukan anak kecil lagi...”
   Ibunya tersenyum. Turun dari kursi goyangnya, menuju bufet yang terbuat dari kayu jati. Tampak mengeluarkan sesuatu. Bara hanya menghela nafas berat. Sudah tahu sekali dia kebiasaan ibunya itu. Sebuah foto. Pasti foto gadis yang akan dijodohkan padanya. Bara membuang pandangan ke arah TV yang sedang menyala. Menatap lawakan yang sudah tak terasa lucu lagi baginya.
   ”Kau lihat dulu, Bara...”
   Bara menggeleng,”Tidak, Bu..saya mohon...saya benar-benar sudah memiliki pilihan hati saya sendiri...” Jawabnya sedikit memelas. Ibunya hanya tersenyum sambil meletakkan foto di meja. Bara tetap tidak bergeming. Dia tetap menatap TV yang sampai saat ini tidak juga mampu menghibur hatinya yang resah. Lewat ujung matanya dia melihat ibunya memasuki kamar. Sekali lagi dia membuang nafas panjang. Rasanya penat sekali rasa hatinya. Senja memang sangat dia cintai, tapi belum pernah sekalipun ia mengungkapkan perasaannya. Gadis itu tampaknya seperti memiliki perasaan yang sama. Kalau tidak, manalah mungkin dia kerap datang meski hanya mengisi TTS di meja makannya tanpa memesan ayam bakar kesukaannya. Beberapa hari terakhir ini gadis itu tampak murung. Setiap kali Bara menanyakan ada masalah apa gerangan yang meresahkannya, Senja selalu menjawab.

   ”Apa bedanya aku dan kau? Kau pun akhir-akhir ini terlihat murung. Dan tidak mau berbagi denganku...jadi sama saja, kan?”
   Bara tidak mampu bicara lagi. Semua kata-katanya tertelan kembali. Ah, Senja...bagaimana bisa aku menumpahkan perasaanku...aku tidak mau kamu tahu kalau aku sudah dijodohkan oleh ibu...padahal aku begitu mencintaimu...bisik hatinya lirih.
   Bara kembali menatap buku TTS di tangannya. Bosan juga dia menonton lawakan itu. Tanpa sengaja matanya tertumbuk pada foto di meja. Foto yang tadi diletakkan ibunya. Akhirnya diraihnya juga meski dengan enggan. Ditatapnya dengan jemu, seketika itu juga dia langsung lemas. Bergegas dia memasuki kamar ibunya.

*****

   ”Kau ini masih belum juga membuang kebiasaanmu melamun, Mas...”
Bara terlonjak. Tertawa malu, wajahnya bersemu merah. Istrinya mencubit pipinya gemas. Bara segera melepaskannya. Ditatapnya warung makannya. Sudah tutup. Ah, benar Senja..dia keasyikan melamun sampai tidak tahu kalau semua pegawainya telah pulang.
   ”Aku tidak menyangka kau masih menyimpan buku TTS lecek ini, Senja..” Ujarnya lembut.
   Senja tersenyum,” Aku akan menyimpannya sampai kapanpun, Mas. Kalau bukan karena buku TTS lecek itu, aku tidak akan pernah tahu bagaimana caranya bisa menarik perhatianmu...saat bertemu denganmu sore itu, aku kebingungan mencari cara untuk sekedar menyapamu..tapi berkat buku lecek ini, akhirnya kita bisa berkenalan...”
   Laki-laki itu berjalan menuju tempat tadi istrinya duduk melayani para pembeli yang membayar makanan. Senja hanya mengawasinya dengan heran. Dilihatnya suaminya itu kembali dengan buku TTS di tangannya. Dia tersenyum.
   ”Isilah..ini milikmu yang kau berikan padaku...dulu aku melarangmu karena itu satu-satunya pemberianmu, Senja...sekarang aku sudah memilikimu...jadi tidak membutuhkan buku itu lagi...”
   Senja menerimanya, menatap buku dengan sendu. Bara mengernyitkan dahi,”Ada apa? Kok kau malah terlihat sedih?”
   ”Hm...kau keterlaluan...aku menunggu begitu lama saat ibumu memintaku untuk mendampingimu. Kau, jangankan mau bertemu denganku, melihat fotoku saja enggan...”

Bara tersenyum. Segera ia membimbing istrinya masuk, saat ini dia begitu ingin mencumbuinya. Bara memang merasa bersalah bila mengenang itu. Kalau saja sejak awal dia tidak keras kepala, kalau saja sejak awal dia mau sedikit lunak hati, sudah lama dia menikahi Senja. Gadis yang sejak pertama kali sudah mencuri hatinya. Gadis yang selalu mengisi TTS di meja makannya. Gadis yang selalu dia tunggu-tunggu kedatangannya di senja hari sesuai dengan namanya. Gadis yang selalu mampu membuatnya gemetaran bila bertemu. Gadis yang ah…Bara sudah tidak mampu lagi menerjemahkannya.


Jumat, 08 Oktober 2010

SEBUAH KEPASTIAN


   Erin menatapi satu per satu bocah-bocah kecil yang berlarian di taman bermain itu. Matanya sendu. Terdengar celoteh dan tawa riang yang harusnya bisa membuat matanya berpijar riang seperti biasanya. Tapi kali ini mata itu tetap saja sendu. Erin menarik nafas panjang berusaha mengusir seluruh gelisah yang merayapi hatinya. Lima tahun! Lima tahun hari ini tepatnya usia pernikahannya. Semuanya masih terasa seperti pengantin baru. Karena sampai lima tahun ini masih belum ada juga buah cinta yang sudah begitu dinantinya berdua dengan Sony suaminya.
   Sekali lagi matanya menjelajah seluruh isi taman bermain yang begitu didominasi oleh anak-anak itu. Hatinya nyeri. Di depannya lewat sepasang suami istri yang mendorong sebuah kereta bayi. Diintipnya sekilas bayi mungil di dalamnya. Aih..bayi itu tampak begitu lucu. Ah, bayi perempuan memanglah selalu lucu dengan segala pernak-pernik yang dipasangkan oleh orang tua mereka. Sekali lagi Erin hanya bisa menatap kepergian suami istri itu dengan sendu. Kapan...kapan gilirannya menimang seorang bayi? Rasanya hatinya sudah begitu rindu akan sosok mungilnya. Dibuangnya tatapannya menatap mega biru. Tampak pelangi cantik menghias di sana. Sejenak dia merasa terhibur. Paduan warnanya yang memancar lembut seperti menciptakan dendang kedamaian dalam hatinya. Mengingatkannya pada Sang Pencipta. Sejenak dia teringat akan kata-kata suaminya.

   ”Sabarlah, Sayang...nanti pasti akan datang buah cinta kita...Tuhan itu Maha Baik...” Begitu selalu suaminya menghibur dirinya kalau dia sudah mulai menumpahkan kegundahannya. Biasanya dia cukup merasa terhibur bila teringat akan ucapan suaminya itu. Tapi kali ini sepertinya itu sudah tidak mempan lagi. Dirabanya perutnya, diremasnya pelan Ya Tuhan..apa aku mandul...? Bisik hatinya lirih. Matanya mengembun. Kembali dihirupnya udara sore itu dalam-dalam seolah berusaha mengenyahkan galau, tapi dia tetap saja galau. Erin berdiri, kemudian berlalu. Rasanya dia sudah tidak betah lagi berada di sana. Di taman bermain yang begitu didominasi oleh anak-anak.
*****

   Ulang tahun pernikahan Erin dan Sony suaminya hari itu tidaklah berjalan seperti biasa. Kalau tahun-tahun sebelumnya mereka merayakannya dengan penuh romantis, kali ini meski sudah begitu indah pantai yang melatar belakangi suasana dinner mereka, sudah begitu cantik hamparan lilin yang menemani mereka menyuguhkan nuansa nan romantis, tetaplah terasa hambar. Hambar pasti untuk Erin. Dan Sony, melihat istrinya yang murung begitu rupa, hatinya pun tak bisa merasa bahagia. Padahal dia begitu ingin bahagia malam ini. Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahannya yang ke lima. Dan hari ini dia juga mendapatkan kenaikan jabatan sebagai manajer keuangan di perusahaannya.   ”Kau murung sekali, Sayang...apa yang meresahkanmu?” Tanyanya lembut sambil menggenggam jari istrinya.
Erin melirik sekilas,”Kau pasti sudah tahu apa yang merisaukan aku, Mas...”
Sony menarik nafas panjang, matanya menyapu pantai yang tampak tenang. Lebih dikuatkannya genggamannya. Dia begitu ingin istrinya merasa nyaman. Dia tahu betul apa yang merisaukan istrinya itu. ”Kita kan sudah sering membahas masalah itu, Rin...kita bisa apa kalau Tuhan belum mengijinkannya?”

   Erin menatap suaminya sendu,”Kita bisa mencari tahu apa penyebab sampai sekarang kita belum juga punya anak?”
   Sony tersenyum, diletakkannya tangan Erin di pipinya,”Kita berdua baik-baik saja, Rin..Tuhan hanya belum memberi kita kepercayaan. Tapi percayalah, Tuhan pasti akan menjawab doa kita..pasti!”
   Kali ini kata-kata penghiburan suaminya tidak mampu meredakan kegalauan Erin, matanya malah menggenang,”Aku mandul, Mas...lima tahun, aku sama sekali belum pernah hamil!”
   Sony segera memeluk Erin, menciumi istrinya berkali-kali berusaha menenangkan belahan jiwanya itu,”Jangan, Rin..jangan berkata begitu..kau sehat..kau baik-baik saja..tenanglah dan sabarlah...” Erin menumpahkan air matanya di dada Sony sampai puas. Sony semakin mengeratkan pelukannya. Begitu inginnya dia melindungi istrinya dari kesedihan yang malam itu tampak begitu kuat menjajahnya. Sony sampai tak tahan. Hatinya ngilu.
   Malam itu langit tampak senyap. Tak ada satu bintang pun berkerlip genit. Bahkan juga bulan. Semua tertutup awan kelabu.
*****

   Erin menatap kartu nama di tangannya. Kartu nama seorang dokter spesialis obstetri gynecology yang cukup ternama. Dimainkannya kartu nama itu di sela-sela jemarinya yang lentik. Kartu itu dia dapatkan dari seorang teman. Temannya itu juga mempunyai masalah yang sama dengan Erin. Bahkan mereka sudah 10 tahun menikah, tapi belum juga memiliki momongan. Dan setelah mendatangi klinik kesuburan yang ditangani langsung oleh dokter itu, mereka sekarang malah mendapatkan sepasang anak kembar.
   Erin memejamkan matanya, menarik nafas panjang. Sekilas ingatannya melayang. Dia sudah pernah menjejakkan kakinya di klinik kesuburan itu. Tapi hanya mampu sampai di depannya saja. Tidak mampu lagi dia melangkah karena rasa khawatir dan juga ketakutan akan kebenaran dari apa yang selama ini selalu menghantuinya. Dia takut mendengar kata-kata yang menyakitkan. Mandul! Ah, dia hanya akan begitu kuat kalau menjalaninya bersama suaminya. Tidak sendirian seperti waktu itu. Sekali lagi dia menarik nafas panjang, kali ini matanya menatap pada frame di meja kerjanya. Ada foto suaminya di situ, dirabanya pelan, pikirannya kembali mengembara. Dicobanya mencari cara untuk membujuk suaminya agar ikut bersamanya memeriksakan diri. Tapi sampai jam pulang kantor tiba, dia masih belum juga menemukan kata-kata yang tepat. Semuanya selalu mentah kembali bila dia membayangkan jawaban-jawaban yang akan terlontar dari mulut suaminya. Dia sudah begitu mengenal Sony. Tiga tahun mereka berpacaran, dua tahun bertunangan dan sekarang lima tahun menikah. 10 tahun sudah dia mengenal suaminya itu luar dalam.
Erin kembali menarik nafas panjang, masih buntu pikirannya.  Dimasukkannya kartu nama itu ke dalam tasnya. Diliriknya jam di dinding sejenak, lalu ia segera bergegas pulang.

   Dan di dalam mobil suaminya, Erin cuma bisu. Pandangannya tak bisa lepas dari jendela mobil. Entah apa yang dipandanginya, dia sendiri tak tahu. Matanya tampak layu. Sony melirik sekilas. Membuang nafas berat. Dia begitu ingin bicara, menghibur seperti biasa. tapi hati kecilnya seolah melarang. Sepertinya Erin saat ini lebih baik sendiri.
   Bahkan sampai di depan garasi rumahnya, Erin tidak juga segera beranjak dari jok mobil suaminya. Sony keluar dan membukakan pintu untuk istrinya. Itu bukanlah kebiasaan Erin. Mungkin 10 tahun yang lalu saat mereka masih pacaran Sony memang selalu membukakan pintu bagi Erin, tapi sudah lama dia tidak melakukannya lagi karena Erin tidak pernah memberinya kesempatan. Istrinya itu sudah langsung membuka pintu mobil saat tiba sampai tujuan. Sony memandangi punggung istrinya yang memasuki rumah. Hatinya berasa tak nyaman..
   ”Kalian sedang bertengkar?!” Begitu pertanyaan yang terlontar dari mulut ibu Sony melihat anak dan menantunya saling diam di meja makan. Pertanyaan itu membuat keduanya tergagap.
   ”Ah tidak, Bu...” Jawab Sony melihat Erin gugup tak mampu menjawab.
   “Kalian berdua ini menunggu apa lagi, sih? Ibu sudah begitu ingin menimang cucu! Kenapa kalian malah tenang-tenang saja?!”
Erin terlonjak. Pertanyaan itu sepertinya bukannya ditujukan pada Sony, melainkan kepada dirinya. Lima tahun..lima tahun dia belum pernah hamil hatinya begitu resah. Dan sekarang ibu mertuanya menanyakan itu. Rasanya dia ingin menangis.
   ”Son...coba kau bawa Erin periksa...siapa tahu ada masalah..kalau ada kan bisa segera dicari tahu obatnya...”
   Erin tergugu. Kata-kata itu menampar hatinya. Matanya berair. Ya Tuhan..mengapa wanita yang sudah dia anggap ibunya sendiri itu berkata demikian menyakitkan?
  ”Ibu ini bicara apa? Erin itu sehat, Bu...kami berdua baik-baik saja...Tuhan yang masih belum mengijinkan...”
   ”Kalau istrimu itu pernah keguguran ibu masih bisa terima alasanmu itu, tapi Erin belum pernah hamil, Son! Kau harus segera mencari tahu!”
Erin tidak mampu lagi bertahan duduk di sana. Dia segera berlari menuju kamar, tanpa pamit pada suami dan ibu mertuanya. Hatinya begitu remuk tergerus oleh semua kata-kata menyakitkan yang terlontar dari mulut wanita separuh baya yang sudah dia anggap sebagai ibunya itu. Sayup-sayup dia mendengar Sony membelanya. Ah..suaminya itu memang baik hati. Dia tidak pernah menyalahkan ataupun memojokkannya. Dia selalu melindungi dirinya bahkan dari ibu kandungnya sendiri.

   “Maafkan ibu ya, Rin..” Sony langsung memeluk Erin dan menciuminya berkali-kali. Erin masih menangis. Dia memang sedih, sakit hati, tapi dia tidak mampu membenci ibu mertuanya itu. Wanita itu, walau jarang ramah padanya, walau selalu saja manja layaknya anak kecil kepada anak satu-satunya itu, tetaplah seorang ibu yang dari rahimnyalah keluar laki-laki yang sekarang menjadi suaminya. Laki-laki lembut yang penyayang, kalau bukan ibu mertuanya yang sudah mendidiknya, suaminya pasti tidak akan sebegitu penyayangnya. Erin begitu mencintai Sony, begitu memujanya. Dan dalam hatinya selalu tak henti dia berterima kasih pada perempuan itu yang sudah melahirkan, membesarkan dan mendidik putranya dengan sangat baik.
   ”Sudah, Sayang....kau jangan menangis. Kata-kata ibu tadi jangan kau masukkan dalam hati, ya...”
   Erin melepaskan pelukan, menatap getir,”Kali ini aku memohon padamu, Mas...ayo kita periksa...” Pintanya lirih.
   Sekali lagi Erin harus berterima kasih pada ibu mertuanya itu. Karena kalau kejadian di meja makan tadi tidak terjadi, selamanya dia tidak akan pernah melihat anggukan tanda setuju dari suaminya. Erin langsung  lega, meski tidak sepenuhnya.
*****

   Erin memandangi Sony yang tampak murung. Erin memeluknya, menciuminya berkali-kali seperti yang dilakukan suaminya setiap kali dia bersedih. Erin mengerti bagaimana terpukulnya laki-laki itu, karena ternyata hasil pemeriksaan menunjukkan kalau suaminyalah yang tidak mampu memberikan benih yang mumpuni yang bisa membuahi rahimnya. Erin memang bisa berlega hati. Tapi kelegaannya itu hanya bisa dia simpan dan dia sembunyikan dalam lorong hatinya yang berkelok gelap. Dia tidak mau suaminya mengetahui kalau dia lega karena bukan pada dirinya kesalahan itu berasal. Erin tak mampu melihat suaminya yang kali ini tampak terpuruk. Juga ibu mertuanya yang sudah begitu ingin menimang cucu. Harapannya benar-benar sudah mati.
   Sekali lagi Erin mengeratkan pelukan melihat suaminya menangis. Diciuminya lagi berkali-kali laki-laki itu. Erin begitu ingin suaminya bisa membagi kesedihan padanya dan bisa merasakan kalau dirinya pun ikut larut merasakan kepedihan batinnya.
   ”Mas...jangan menangis...kita kan sudah sepakat akan tetap saling menyayangi dan tidak akan saling menyalahkan...aku mencintaimu Mas Sony...sangat mencintaimu...”
   ”Tapi kau sudah begitu rindu ingin memiliki anak, Rin..dan untuk selamanya aku tidak akan mampu memberikannya padamu...”
   Erin tersenyum,”Sekarang aku sudah tidak menginginkannya lagi, Sayang...sekarang aku begitu ingin menghabiskan waktu berdua saja denganmu...selamanya berdua..sampai aku mati...”
   Sony tertegun. Dilepaskannya pelukan, ditatapnya lekat mata istrinya. Sony menemukan lukisan kejujuran disana. Matanya mengembun,”Sungguh, Rin? Apakah kau sungguh-sungguh dengan perkataanmu barusan...?”
   Erin tersenyum sambil mengecup bibir Sony lembut,”Tentu saja...” Jawabnya pasti. Sony menggeleng-gelengkan kepalanya, matanya masih saja nampak sendu,”Lantas bagaimana dengan ibu …?” Tanyanya pelan bergetar.
   Erin menarik nafas panjang, mencoba tersenyum sambil kembali memeluk dan membelai lembut,”Sabarlah, Mas..semuanya hanya soal waktu..aku yakin ibu pasti bisa menerima kenyataan…”
Tidak terdengar jawaban dari Sony, Erin semakin mengeratkan pelukannya, berharap suaminya bisa merasa aman.
*****