Kamis, 14 Oktober 2010

BUKU TTS



 Bara memandangi buku TTS lecek di tangannya. Senyumnya terkembang. Buku TTS ini begitu berharga, buku TTS inilah yang mengakrabkan dirinya dengan Senja. Tidak disangka kalau istrinya itu masih menyimpannya. Dibuangnya tatapannya ke depan. Tampak istrinya yang baru dinikahinya seminggu itu sibuk melayani pembayaran para pelanggan yang usai menikmati makanan dari warung makannya. Tidak sengaja mereka bertemu pandang. Bara melempar senyum. Senja mengernyitkan dahinya sejenak, melihat suaminya mengangkat buku TTSnya, dia pun balas tersenyum. Ah, Bara sampai terpesona. Istrinya itu begitu manis. Senyumnya selalu saja membuatnya goyah. Senyum manis yang lengkap dengan sepasang lesung yang begitu dalam. Rasanya dia ingin mencubit pipi itu karena gemas. Bara kembali menatap buku TTS di tangannya. Ingatannya melayang.

   ”Ayam bakarnya satu. Paha saja.”
   Bara mengangguk. Dengan cekatan dia segera mengerjakan pesanan gadis cantik yang kala itu datang. Diliriknya sekilas lewat ujung matanya. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Banyak gadis cantik yang makan di warung ayam bakar miliknya, tapi belum ada yang semenarik ini. Dia tidak terlalu berani untuk curi-curi pandang. Ah, Bara memang sedikit pemalu. Dia pun kembali menyibukkan diri.
Tapi tak lama. Jantungnya kembali berdegup lebih kencang dari biasanya. Gadis itu mendekatinya, menoleh-noleh. Lalu matanya berbinar, meraih buku TTS lecek yang terselip di bawah piring yang berisi dedaunan lalapan.

   “Hm..Mas, aku pinjam boleh, ya…”
   Belum sempat Bara mengangguk, gadis itu sudah membawa buku TTSnya kembali ke mejanya. Bara tersenyum tapi cuma dalam hati. Kembali dia sibuk. Sekarang sepertinya dia berani curi-curi pandang karena si gadis tampak menyembunyikan wajahnya yang terbenam diantara helaian rambutnya yang indah, sibuk mengisi buku TTS. Ah, Bara sampai terlena, kalau saja dia tak ingat pada ayam bakar yang sedang berada di pemanggangan, bisa-bisa ayam bakar itu jadi gosong. Dengan cekatan dia mengangkatnya, meletakkannya pada sebuah piring. Lalu dia segera menuju meja gadis itu meski dengan sedikit gemetaran.
   ”Silahkan...”
   Gadis itu terlonjak, menatapnya heran,”Lho..kok di letakkan di sini?”
   Bara lebih heran lagi. Memangnya harus diletakkan di mana? Tidak ada pelanggan lain selain gadis itu, dan dia tidak mungkin salah, ini adalah pesanannya. Pikirnya bingung.
   ”Hm, maksudnya Mbak gimana?”
   Gadis itu tampak berpikir sejenak,”Memangnya saya tadi tidak bilang ya, kalau pesanannya dibungkus. Akan saya bawa pulang…”
   Bara terlonjak, menggeleng cepat. Gadis itu kembali tersenyum,”Ah, kalau begitu maaf, ya…bisa kan kalau sekarang dibungkus saja…”
   Bara segera mengangguk dan dengan segera menuntaskan pesanan gadis tadi. Sejenak hatinya gelisah. Ah, aku tidak akan melihatnya lagi. Keluh hatinya. Meski dia bermaksud bergegas menyelesaikannya, tetap saja nalurinya seperti melarang. Dia memperlambat kerjanya, sambil kembali curi-curi pandang, gadis itu tampak kembali larut mengisi buku TTS miliknya.
   “Ini, Mbak…” Ujarnya sambil meletakkan bungkusan di meja. Tampak gadis itu terlonjak. Bara sampai merasa tidak enak sudah mengagetkannya,”Ah, maaf saya bikin Mbak kaget...”
   Gadis itu tersenyum sambil menggeleng pelan,”Nggak pa-pa..” Jawabnya sambil membuka dompet. Mengeluarkan selembar uang dua puluhan ribu. Bara menerimanya dan dengan segera memberikan kembaliannya. Tampak gadis itu memandangi buku TTS miliknya. Bara langsung tanggap,”Dibawa saja Mbak bukunya..nggak pa-pa...”
   Ah....seketika Bara semakin lemas. Tidak tahan dia memandang binar bahagia yang tertangkap oleh matanya. Rasanya ingin sekali dia mengecup mata cantik itu.
   “Beneran nih, Mas...boleh dibawa…?”
   Bara mengangguk sambil tersenyum. Berusaha keras dia untuk memberikan senyuman termanis, meski jantungnya sudah hendak copot.
   “Wah makasih, ya...Hm, lain kali akan saya ganti…”
Bara belum sempat menjawab, gadis itu sudah berlalu., Bara hanya mampu memandang sendu. Ah, mengapa rasanya sebelah kakinya seperti ikut bersama gadis itu. Gadis cantik yang bahkan dia belum tahu siapa namanya. Rasanya timpang!

*****


   Bara menatap jam dinding. Hatinya begitu resah. Senja belum juga datang. Akhirnya dia tahu juga nama gadis itu. Gadis itu sudah menjadi langganan tetapnya sekarang ini. Ditatapnya buku TTS yang masih baru, masih mulus. Buku itu pemberian Senja.
   “Ini buku TTS yang aku janjikan..ini untuk mengganti buku Mas yang saya bawa tempo hari…” Begitu kata gadis itu kemarin lusa. Awalnya Bara menolak, tapi Senja memaksanya, akhirnya diterimanya juga sambil mengangguk dan tersenyum. Sengaja tidak dia isi kolom-kolom yang berbaris rapi di dalamnya. Dia begitu ingin menjaganya seperti benda keramat saja. Dibelainya pelan, kembali dia menatap jam dinding. Hatinya bukan hanya resah karena menunggu gadis pujaan. Tapi juga resah memikirkan permintaan ibunya yang hendak menjodohkan dirinya dengan seorang gadis. Bara tidak mungkin lagi bisa menyerahkan cintanya pada gadis lain selain Senja. Tapi Bara begitu menyayangi ibunya. Rasanya dia akan merasa berdosa bila tidak memenuhi keinginannya. Ibunya itu sudah sepuh. Tinggal dia satu-satunya anaknya yang belum menikah. Semua kakaknya sudah lama berkeluarga, sudah banyak memberikan ibunya cucu. Ah...Bara mendesah dalam hati.
   ”Melamun, Mas?”
   Bara terlonjak. Ditatapnya sepasang mata bening yang sedang menatap ke arahnya. Dia mencoba tersenyum mengusir kegundahan hatinya. Bagaimana bisa melepaskan gadis cantik di depannya ini? Gadis yang sudah mencuri hatinya hingga habis tak bersisa apa-apa.

   ”Ada apa, sih? Kayanya murung sekali?” Tanya Senja sekali lagi. Bara cuma menggeleng pelan. Bagaimana bisa dia berterus terang. Mulutnya serasa terkunci.
Senja meraih buku TTS dari tangan Bara,”Daripada sedih, lebih baik isi TTS ini saja..”
   ”Eh, jangan..! Ini tidak boleh diisi siapa-siapa...ini adalah benda paling penting yang aku punya...aku saja tidak berniat mengisinya...” Sahutnya sambil kembali meraih buku TTS itu. Senja hanya bisa menatap bingung. Bara menyimpan buku TTS itu dibawah piring tempat dedaunan lalapan seperti biasa.
   ”Hm, kau akan pesan apa Nona?” Tanyanya sedikit nakal. Bara merasa sudah cukup mengenal gadis di depannya itu, sehingga mulai agak berani.    
   Senja tersenyum menggeleng pelan,”Aku tidak akan pesan apa-apa sebelum kau mau berbagi keresahan padaku...aku ini tidak bisa kau bohongi...aku tahu kau sedang resah...ada apa?”

   Belum juga Bara sempat menjawab. Datang segerombolan pelanggan yang langsung membuat Bara sibuk. Memang tidak biasanya warung makannya ini di datangi pelanggan sore-sore begini. Biasanya warungnya ini ramai saat makan siang dan makan malam saja. Andai ada yang datang di selain waktu jam makan, biasanya tidaklah sebanyak ini. Senja menghela nafas, lalu keluar dari warung makan milik Bara. Bara hanya bisa menatap sendu.


*****


   Bara kembali memandangi buku TTS di tangannya. Diraba dan dibelainya lembut, seolah dia tidak sedang membelai sebuah buku. Di sudut ruangan tampak ibunya yang duduk di kursi goyang. Menatap ke arahnya. Bara hanya bisa tertunduk.
   ”Kau harus lihat orangnya dulu, Bara...baru kau boleh menolaknya.”
   Bara menghela nafas berat,”Ah, Ibu..ini sudah kesekian kalinya ibu menjodohkan saya...saya ini sudah punya pilihan sendiri, Bu..saya kan bukan anak kecil lagi...”
   Ibunya tersenyum. Turun dari kursi goyangnya, menuju bufet yang terbuat dari kayu jati. Tampak mengeluarkan sesuatu. Bara hanya menghela nafas berat. Sudah tahu sekali dia kebiasaan ibunya itu. Sebuah foto. Pasti foto gadis yang akan dijodohkan padanya. Bara membuang pandangan ke arah TV yang sedang menyala. Menatap lawakan yang sudah tak terasa lucu lagi baginya.
   ”Kau lihat dulu, Bara...”
   Bara menggeleng,”Tidak, Bu..saya mohon...saya benar-benar sudah memiliki pilihan hati saya sendiri...” Jawabnya sedikit memelas. Ibunya hanya tersenyum sambil meletakkan foto di meja. Bara tetap tidak bergeming. Dia tetap menatap TV yang sampai saat ini tidak juga mampu menghibur hatinya yang resah. Lewat ujung matanya dia melihat ibunya memasuki kamar. Sekali lagi dia membuang nafas panjang. Rasanya penat sekali rasa hatinya. Senja memang sangat dia cintai, tapi belum pernah sekalipun ia mengungkapkan perasaannya. Gadis itu tampaknya seperti memiliki perasaan yang sama. Kalau tidak, manalah mungkin dia kerap datang meski hanya mengisi TTS di meja makannya tanpa memesan ayam bakar kesukaannya. Beberapa hari terakhir ini gadis itu tampak murung. Setiap kali Bara menanyakan ada masalah apa gerangan yang meresahkannya, Senja selalu menjawab.

   ”Apa bedanya aku dan kau? Kau pun akhir-akhir ini terlihat murung. Dan tidak mau berbagi denganku...jadi sama saja, kan?”
   Bara tidak mampu bicara lagi. Semua kata-katanya tertelan kembali. Ah, Senja...bagaimana bisa aku menumpahkan perasaanku...aku tidak mau kamu tahu kalau aku sudah dijodohkan oleh ibu...padahal aku begitu mencintaimu...bisik hatinya lirih.
   Bara kembali menatap buku TTS di tangannya. Bosan juga dia menonton lawakan itu. Tanpa sengaja matanya tertumbuk pada foto di meja. Foto yang tadi diletakkan ibunya. Akhirnya diraihnya juga meski dengan enggan. Ditatapnya dengan jemu, seketika itu juga dia langsung lemas. Bergegas dia memasuki kamar ibunya.

*****

   ”Kau ini masih belum juga membuang kebiasaanmu melamun, Mas...”
Bara terlonjak. Tertawa malu, wajahnya bersemu merah. Istrinya mencubit pipinya gemas. Bara segera melepaskannya. Ditatapnya warung makannya. Sudah tutup. Ah, benar Senja..dia keasyikan melamun sampai tidak tahu kalau semua pegawainya telah pulang.
   ”Aku tidak menyangka kau masih menyimpan buku TTS lecek ini, Senja..” Ujarnya lembut.
   Senja tersenyum,” Aku akan menyimpannya sampai kapanpun, Mas. Kalau bukan karena buku TTS lecek itu, aku tidak akan pernah tahu bagaimana caranya bisa menarik perhatianmu...saat bertemu denganmu sore itu, aku kebingungan mencari cara untuk sekedar menyapamu..tapi berkat buku lecek ini, akhirnya kita bisa berkenalan...”
   Laki-laki itu berjalan menuju tempat tadi istrinya duduk melayani para pembeli yang membayar makanan. Senja hanya mengawasinya dengan heran. Dilihatnya suaminya itu kembali dengan buku TTS di tangannya. Dia tersenyum.
   ”Isilah..ini milikmu yang kau berikan padaku...dulu aku melarangmu karena itu satu-satunya pemberianmu, Senja...sekarang aku sudah memilikimu...jadi tidak membutuhkan buku itu lagi...”
   Senja menerimanya, menatap buku dengan sendu. Bara mengernyitkan dahi,”Ada apa? Kok kau malah terlihat sedih?”
   ”Hm...kau keterlaluan...aku menunggu begitu lama saat ibumu memintaku untuk mendampingimu. Kau, jangankan mau bertemu denganku, melihat fotoku saja enggan...”

Bara tersenyum. Segera ia membimbing istrinya masuk, saat ini dia begitu ingin mencumbuinya. Bara memang merasa bersalah bila mengenang itu. Kalau saja sejak awal dia tidak keras kepala, kalau saja sejak awal dia mau sedikit lunak hati, sudah lama dia menikahi Senja. Gadis yang sejak pertama kali sudah mencuri hatinya. Gadis yang selalu mengisi TTS di meja makannya. Gadis yang selalu dia tunggu-tunggu kedatangannya di senja hari sesuai dengan namanya. Gadis yang selalu mampu membuatnya gemetaran bila bertemu. Gadis yang ah…Bara sudah tidak mampu lagi menerjemahkannya.


Jumat, 08 Oktober 2010

SEBUAH KEPASTIAN


   Erin menatapi satu per satu bocah-bocah kecil yang berlarian di taman bermain itu. Matanya sendu. Terdengar celoteh dan tawa riang yang harusnya bisa membuat matanya berpijar riang seperti biasanya. Tapi kali ini mata itu tetap saja sendu. Erin menarik nafas panjang berusaha mengusir seluruh gelisah yang merayapi hatinya. Lima tahun! Lima tahun hari ini tepatnya usia pernikahannya. Semuanya masih terasa seperti pengantin baru. Karena sampai lima tahun ini masih belum ada juga buah cinta yang sudah begitu dinantinya berdua dengan Sony suaminya.
   Sekali lagi matanya menjelajah seluruh isi taman bermain yang begitu didominasi oleh anak-anak itu. Hatinya nyeri. Di depannya lewat sepasang suami istri yang mendorong sebuah kereta bayi. Diintipnya sekilas bayi mungil di dalamnya. Aih..bayi itu tampak begitu lucu. Ah, bayi perempuan memanglah selalu lucu dengan segala pernak-pernik yang dipasangkan oleh orang tua mereka. Sekali lagi Erin hanya bisa menatap kepergian suami istri itu dengan sendu. Kapan...kapan gilirannya menimang seorang bayi? Rasanya hatinya sudah begitu rindu akan sosok mungilnya. Dibuangnya tatapannya menatap mega biru. Tampak pelangi cantik menghias di sana. Sejenak dia merasa terhibur. Paduan warnanya yang memancar lembut seperti menciptakan dendang kedamaian dalam hatinya. Mengingatkannya pada Sang Pencipta. Sejenak dia teringat akan kata-kata suaminya.

   ”Sabarlah, Sayang...nanti pasti akan datang buah cinta kita...Tuhan itu Maha Baik...” Begitu selalu suaminya menghibur dirinya kalau dia sudah mulai menumpahkan kegundahannya. Biasanya dia cukup merasa terhibur bila teringat akan ucapan suaminya itu. Tapi kali ini sepertinya itu sudah tidak mempan lagi. Dirabanya perutnya, diremasnya pelan Ya Tuhan..apa aku mandul...? Bisik hatinya lirih. Matanya mengembun. Kembali dihirupnya udara sore itu dalam-dalam seolah berusaha mengenyahkan galau, tapi dia tetap saja galau. Erin berdiri, kemudian berlalu. Rasanya dia sudah tidak betah lagi berada di sana. Di taman bermain yang begitu didominasi oleh anak-anak.
*****

   Ulang tahun pernikahan Erin dan Sony suaminya hari itu tidaklah berjalan seperti biasa. Kalau tahun-tahun sebelumnya mereka merayakannya dengan penuh romantis, kali ini meski sudah begitu indah pantai yang melatar belakangi suasana dinner mereka, sudah begitu cantik hamparan lilin yang menemani mereka menyuguhkan nuansa nan romantis, tetaplah terasa hambar. Hambar pasti untuk Erin. Dan Sony, melihat istrinya yang murung begitu rupa, hatinya pun tak bisa merasa bahagia. Padahal dia begitu ingin bahagia malam ini. Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahannya yang ke lima. Dan hari ini dia juga mendapatkan kenaikan jabatan sebagai manajer keuangan di perusahaannya.   ”Kau murung sekali, Sayang...apa yang meresahkanmu?” Tanyanya lembut sambil menggenggam jari istrinya.
Erin melirik sekilas,”Kau pasti sudah tahu apa yang merisaukan aku, Mas...”
Sony menarik nafas panjang, matanya menyapu pantai yang tampak tenang. Lebih dikuatkannya genggamannya. Dia begitu ingin istrinya merasa nyaman. Dia tahu betul apa yang merisaukan istrinya itu. ”Kita kan sudah sering membahas masalah itu, Rin...kita bisa apa kalau Tuhan belum mengijinkannya?”

   Erin menatap suaminya sendu,”Kita bisa mencari tahu apa penyebab sampai sekarang kita belum juga punya anak?”
   Sony tersenyum, diletakkannya tangan Erin di pipinya,”Kita berdua baik-baik saja, Rin..Tuhan hanya belum memberi kita kepercayaan. Tapi percayalah, Tuhan pasti akan menjawab doa kita..pasti!”
   Kali ini kata-kata penghiburan suaminya tidak mampu meredakan kegalauan Erin, matanya malah menggenang,”Aku mandul, Mas...lima tahun, aku sama sekali belum pernah hamil!”
   Sony segera memeluk Erin, menciumi istrinya berkali-kali berusaha menenangkan belahan jiwanya itu,”Jangan, Rin..jangan berkata begitu..kau sehat..kau baik-baik saja..tenanglah dan sabarlah...” Erin menumpahkan air matanya di dada Sony sampai puas. Sony semakin mengeratkan pelukannya. Begitu inginnya dia melindungi istrinya dari kesedihan yang malam itu tampak begitu kuat menjajahnya. Sony sampai tak tahan. Hatinya ngilu.
   Malam itu langit tampak senyap. Tak ada satu bintang pun berkerlip genit. Bahkan juga bulan. Semua tertutup awan kelabu.
*****

   Erin menatap kartu nama di tangannya. Kartu nama seorang dokter spesialis obstetri gynecology yang cukup ternama. Dimainkannya kartu nama itu di sela-sela jemarinya yang lentik. Kartu itu dia dapatkan dari seorang teman. Temannya itu juga mempunyai masalah yang sama dengan Erin. Bahkan mereka sudah 10 tahun menikah, tapi belum juga memiliki momongan. Dan setelah mendatangi klinik kesuburan yang ditangani langsung oleh dokter itu, mereka sekarang malah mendapatkan sepasang anak kembar.
   Erin memejamkan matanya, menarik nafas panjang. Sekilas ingatannya melayang. Dia sudah pernah menjejakkan kakinya di klinik kesuburan itu. Tapi hanya mampu sampai di depannya saja. Tidak mampu lagi dia melangkah karena rasa khawatir dan juga ketakutan akan kebenaran dari apa yang selama ini selalu menghantuinya. Dia takut mendengar kata-kata yang menyakitkan. Mandul! Ah, dia hanya akan begitu kuat kalau menjalaninya bersama suaminya. Tidak sendirian seperti waktu itu. Sekali lagi dia menarik nafas panjang, kali ini matanya menatap pada frame di meja kerjanya. Ada foto suaminya di situ, dirabanya pelan, pikirannya kembali mengembara. Dicobanya mencari cara untuk membujuk suaminya agar ikut bersamanya memeriksakan diri. Tapi sampai jam pulang kantor tiba, dia masih belum juga menemukan kata-kata yang tepat. Semuanya selalu mentah kembali bila dia membayangkan jawaban-jawaban yang akan terlontar dari mulut suaminya. Dia sudah begitu mengenal Sony. Tiga tahun mereka berpacaran, dua tahun bertunangan dan sekarang lima tahun menikah. 10 tahun sudah dia mengenal suaminya itu luar dalam.
Erin kembali menarik nafas panjang, masih buntu pikirannya.  Dimasukkannya kartu nama itu ke dalam tasnya. Diliriknya jam di dinding sejenak, lalu ia segera bergegas pulang.

   Dan di dalam mobil suaminya, Erin cuma bisu. Pandangannya tak bisa lepas dari jendela mobil. Entah apa yang dipandanginya, dia sendiri tak tahu. Matanya tampak layu. Sony melirik sekilas. Membuang nafas berat. Dia begitu ingin bicara, menghibur seperti biasa. tapi hati kecilnya seolah melarang. Sepertinya Erin saat ini lebih baik sendiri.
   Bahkan sampai di depan garasi rumahnya, Erin tidak juga segera beranjak dari jok mobil suaminya. Sony keluar dan membukakan pintu untuk istrinya. Itu bukanlah kebiasaan Erin. Mungkin 10 tahun yang lalu saat mereka masih pacaran Sony memang selalu membukakan pintu bagi Erin, tapi sudah lama dia tidak melakukannya lagi karena Erin tidak pernah memberinya kesempatan. Istrinya itu sudah langsung membuka pintu mobil saat tiba sampai tujuan. Sony memandangi punggung istrinya yang memasuki rumah. Hatinya berasa tak nyaman..
   ”Kalian sedang bertengkar?!” Begitu pertanyaan yang terlontar dari mulut ibu Sony melihat anak dan menantunya saling diam di meja makan. Pertanyaan itu membuat keduanya tergagap.
   ”Ah tidak, Bu...” Jawab Sony melihat Erin gugup tak mampu menjawab.
   “Kalian berdua ini menunggu apa lagi, sih? Ibu sudah begitu ingin menimang cucu! Kenapa kalian malah tenang-tenang saja?!”
Erin terlonjak. Pertanyaan itu sepertinya bukannya ditujukan pada Sony, melainkan kepada dirinya. Lima tahun..lima tahun dia belum pernah hamil hatinya begitu resah. Dan sekarang ibu mertuanya menanyakan itu. Rasanya dia ingin menangis.
   ”Son...coba kau bawa Erin periksa...siapa tahu ada masalah..kalau ada kan bisa segera dicari tahu obatnya...”
   Erin tergugu. Kata-kata itu menampar hatinya. Matanya berair. Ya Tuhan..mengapa wanita yang sudah dia anggap ibunya sendiri itu berkata demikian menyakitkan?
  ”Ibu ini bicara apa? Erin itu sehat, Bu...kami berdua baik-baik saja...Tuhan yang masih belum mengijinkan...”
   ”Kalau istrimu itu pernah keguguran ibu masih bisa terima alasanmu itu, tapi Erin belum pernah hamil, Son! Kau harus segera mencari tahu!”
Erin tidak mampu lagi bertahan duduk di sana. Dia segera berlari menuju kamar, tanpa pamit pada suami dan ibu mertuanya. Hatinya begitu remuk tergerus oleh semua kata-kata menyakitkan yang terlontar dari mulut wanita separuh baya yang sudah dia anggap sebagai ibunya itu. Sayup-sayup dia mendengar Sony membelanya. Ah..suaminya itu memang baik hati. Dia tidak pernah menyalahkan ataupun memojokkannya. Dia selalu melindungi dirinya bahkan dari ibu kandungnya sendiri.

   “Maafkan ibu ya, Rin..” Sony langsung memeluk Erin dan menciuminya berkali-kali. Erin masih menangis. Dia memang sedih, sakit hati, tapi dia tidak mampu membenci ibu mertuanya itu. Wanita itu, walau jarang ramah padanya, walau selalu saja manja layaknya anak kecil kepada anak satu-satunya itu, tetaplah seorang ibu yang dari rahimnyalah keluar laki-laki yang sekarang menjadi suaminya. Laki-laki lembut yang penyayang, kalau bukan ibu mertuanya yang sudah mendidiknya, suaminya pasti tidak akan sebegitu penyayangnya. Erin begitu mencintai Sony, begitu memujanya. Dan dalam hatinya selalu tak henti dia berterima kasih pada perempuan itu yang sudah melahirkan, membesarkan dan mendidik putranya dengan sangat baik.
   ”Sudah, Sayang....kau jangan menangis. Kata-kata ibu tadi jangan kau masukkan dalam hati, ya...”
   Erin melepaskan pelukan, menatap getir,”Kali ini aku memohon padamu, Mas...ayo kita periksa...” Pintanya lirih.
   Sekali lagi Erin harus berterima kasih pada ibu mertuanya itu. Karena kalau kejadian di meja makan tadi tidak terjadi, selamanya dia tidak akan pernah melihat anggukan tanda setuju dari suaminya. Erin langsung  lega, meski tidak sepenuhnya.
*****

   Erin memandangi Sony yang tampak murung. Erin memeluknya, menciuminya berkali-kali seperti yang dilakukan suaminya setiap kali dia bersedih. Erin mengerti bagaimana terpukulnya laki-laki itu, karena ternyata hasil pemeriksaan menunjukkan kalau suaminyalah yang tidak mampu memberikan benih yang mumpuni yang bisa membuahi rahimnya. Erin memang bisa berlega hati. Tapi kelegaannya itu hanya bisa dia simpan dan dia sembunyikan dalam lorong hatinya yang berkelok gelap. Dia tidak mau suaminya mengetahui kalau dia lega karena bukan pada dirinya kesalahan itu berasal. Erin tak mampu melihat suaminya yang kali ini tampak terpuruk. Juga ibu mertuanya yang sudah begitu ingin menimang cucu. Harapannya benar-benar sudah mati.
   Sekali lagi Erin mengeratkan pelukan melihat suaminya menangis. Diciuminya lagi berkali-kali laki-laki itu. Erin begitu ingin suaminya bisa membagi kesedihan padanya dan bisa merasakan kalau dirinya pun ikut larut merasakan kepedihan batinnya.
   ”Mas...jangan menangis...kita kan sudah sepakat akan tetap saling menyayangi dan tidak akan saling menyalahkan...aku mencintaimu Mas Sony...sangat mencintaimu...”
   ”Tapi kau sudah begitu rindu ingin memiliki anak, Rin..dan untuk selamanya aku tidak akan mampu memberikannya padamu...”
   Erin tersenyum,”Sekarang aku sudah tidak menginginkannya lagi, Sayang...sekarang aku begitu ingin menghabiskan waktu berdua saja denganmu...selamanya berdua..sampai aku mati...”
   Sony tertegun. Dilepaskannya pelukan, ditatapnya lekat mata istrinya. Sony menemukan lukisan kejujuran disana. Matanya mengembun,”Sungguh, Rin? Apakah kau sungguh-sungguh dengan perkataanmu barusan...?”
   Erin tersenyum sambil mengecup bibir Sony lembut,”Tentu saja...” Jawabnya pasti. Sony menggeleng-gelengkan kepalanya, matanya masih saja nampak sendu,”Lantas bagaimana dengan ibu …?” Tanyanya pelan bergetar.
   Erin menarik nafas panjang, mencoba tersenyum sambil kembali memeluk dan membelai lembut,”Sabarlah, Mas..semuanya hanya soal waktu..aku yakin ibu pasti bisa menerima kenyataan…”
Tidak terdengar jawaban dari Sony, Erin semakin mengeratkan pelukannya, berharap suaminya bisa merasa aman.
*****
  

Jumat, 17 September 2010

BIOLA CINTA





   Teguh menatapi sosok lemah yang terbaring tak berdaya di atas ranjangnya. Sudah sebulan ini sosok itu tampak semakin lemah saja. Meski sosok lemah itu selalu berusaha menyembunyikan apa yang dirasa oleh tubuhnya, selalu saja berusaha menyimpan semua derita yang sudah tiga tahun ini menjajahnya, tetap saja Teguh dapat ikut merasakan bagaimana sakitnya. Tampak senyum yang sudah tak bisa lagi ia terjemahkan. Senyum apa yang tergores pada bibir pucat itu. Rasanya dia sudah tidak ingin menatapnya lagi. Dia menjadi begitu merasa lebur bila menatap senyum itu. Senyum yang memerikan rasa sakit yang hebat. Teguh memejamkan matanya, membelai rambut tipis istrinya sambil kemudian mengecup keningnya.
   ”Tidurlah sayang...aku akan menggesekkan biola untukmu..” Bisiknya lirih. Teguh menatap sepasang mata sayu yang kini berbinar sedikit cerah. Diraihnya biola tua yang sudah puluhan tahun menemaninya. Digesekkannya pelan, menyuarakan bunyi yang menyayat. Tapi Teguh tahu, hanya dengan mendengar gesekan biola tua itu, istrinya bisa terhibur. Jari-jarinya dengan lincah menekan-nekan senar sementara tangan kanannya menggesek pelan. My Heart is Like a Violin adalah lagu kesukaan istrinya itu. Selalu itu yang diminta istrinya bila dia sudah memegang biola. Lagu itu memang membawa kenangan indah. Lagu itu yang dia mainkan untuk melamar wanita tiga puluh lima tahun yang lalu agar bersedia menjadi pendampingnya. Dan semakin hari, lagu itu sama sekali tidak terdengar membosankan bagi Gayatri istrinya yang hidupnya sudah tinggal menghitung hari. Kanker lambung yang dideritanya tiga tahun lebih yang sekarang sudah menyebar entah kemana maunya kanker itu, para dokter sudah tidak ada lagi yang mampu mengobatinya. Dan Teguh, hanya inilah yang bisa dilakukannya. Menggesekkan biola bagi istri tercinta berharap meringankan sakitnya, meski Teguh tahu, sakit itu tidak akan bisa berkurang hanya dengan mendengar permainan biolanya.
   “Jangan pernah lelah bermain untukku, Mas….aku merasa damai…” Begitu kata-kata istrinya yang membuatnya selalu ingin menggesek benda tua itu. Meski bosan sudah sejak lama mendekap erat dirinya, dia tidak mampu berhenti sebelum istrinya menyuruhnya berhenti. Teguh memainkannya mengiringi istrinya sampai dia terlelap.
*****
   Teguh terpana. Sudah lama sekali dia tidak melihat istrinya secantik sekarang. Bukan hanya cantik, tapi muda dan sehat. Dia melihat istrinya itu menari di pinggir sebuah danau nan indah. Dan Teguh tidak mampu untuk tidak memainkan biola tua miliknya. Dengan iringan biola tua itu, Teguh mengiringinya menari. Sinar bulan purnama begitu benderang sehingga bayangan yang tercipta di rerumputan tampak indah. Bayangan Gayatri istrinya yang menari gembira.
   Tapi tidak bisa lama Teguh memainkannya. Karena tiba-tiba dia tersadar. Ah, ternyata itu hanya mimpi. Teguh menatap istrinya sendu. Andai saja mimpinya itu benar-benar nyata, rasanya dia begitu lega dada karena nampak sekali istrinya itu begitu lepas dan tidak lagi merasa sakit. Teguh tersentak melihat mata istrinya terbuka. Ah, mata itu tampak begitu letih dan redup.
   ”Kau ingin minum, Dik?” Tawarnya lembut. Gayatri tampak menggeleng, tersenyum. Teguh membelai lembut.
   “Aku baru bermimpi…” Bisik istrinya pelan. Teguh mendengarkan dengan sungguh-sungguh,”Mimpi apa?”
   “Mimpi menari di sebuah danau…dan kau bermain biola….”
   Teguh terlonjak. Mimpi yang sama! Bagaimana bisa istrinya itu bermimpi yang sama dengan dirinya? Tapi tidak sempat dia terbengong berlama-lama, karena istrinya tiba-tiba saja meminta sesuatu yang tidak biasa.
   ”Mas...aku ingin kau hubungi anak-anak..aku kangen mereka..aku ingin mereka di sini...”
   Teguh menarik nafas panjang. Tuhan..apakah sudah dekat waktunya? Apakah sudah tidak lama lagi dia berada di sisiku? Apakah aku mampu berpisah darinya...? Teguh tidak mampu menjawabnya. Kepalanya hanya terangguk pelan.
  ”Besok aku akan hubungi mereka...”
  Gayatri menggeleng,”Sekarang...” Pintanya lirih. Teguh dengan berat bangkit dari tempat tidurnya dan mulai menghubungi ketiga anaknya. Hatinya terasa pedih, tapi dia tak berdaya.
*****

   Hari ini entah mengapa Teguh malas sekali masuk ke dalam kamar istrinya. Rasanya dia ingin memberikan kesempatan pada ketiga anak dan menantunya untuk dekat dengan ibu mereka. Mereka jarang berkumpul seperti ini karena semuanya tinggal di kota yang berbeda. Tadi sekilas dia mengintip, tampak istri bersama ketiga anak dan menantunya berbicara hangat. Teguh tidak ingin mengganggu, dia memilih sibuk membersihkan biola, memetik senar sekedar memastikan suara nada yang pas. Ada satu nada yang sedari tadi terdengar sumbang di telinganya. Berkali-kali dicobanya memutar-mutar pada ujung biolanya, tetap saja berasa sumbang, membuatnya gemas. Tidak biasanya senar satu ini begini nakal. Sekali lagi didengarkannya dengan seksama.
   “Pak…Bapak kok tidak masuk? Ibu ingin di dekat bapak..”
   Teguh terlonjak. Menoleh menatap putera sulungnya. Ah, Teguh begitu bangga pada puteranya itu. Puteranya itu seorang perwira TNI-AD berpangkat kapten. Puteranya itu yang melanjutkan cita-citanya yang tidak terwujud. Tapi tidak! Teguh tidak hanya bangga pada putera sulungnya itu, tapi pada ketiga puteranya. Puteranya yang kedua seorang Jaksa muda seperti dirinya yang telah lama pensiun, sedangkan putera ketiganya seorang arsitek.
   Ah...tiba-tiba saja dia merasa pedih. Kalau Gayatri istrinya itu nanti pergi, akan bagaimanakah dirinya? Untuk apalagi dirinya ada di dunia ini? Tugasnya sebagai orang tua sudah dia jalani dengan begitu sempurna berdua dengan istrinya. Dan dia tahu, dia dilahirkan memang untuk bertemu wanita itu. Wanita yang sebentar lagi akan meninggalkan dirinya. Teguh merasa sepi meski dia belum ditinggal mati.
   ”Pak...kok malah melamun..ayo, masuk...”
Teguh kembali terlonjak. Dia mencoba tersenyum meski saat ini dia begitu tak ingin tersenyum.
   ”Kau temani saja ibumu...kau kan jarang pulang...kalau bapak setiap hari selalu dilihatnya...dia pasti sudah bosan...” Begitu jawabnya sambil kembali menyibukkan diri.
Putera sulungnya pun akhirnya masuk kembali. Tapi tidak lama putera keduanya juga putera ketiganya memintanya masuk ke kamar. Teguh masih memberinya jawaban yang sama. Setelah itu dia kembali sibuk meneruskan menyesuaikan nada yang masih saja terdengar sumbang.
Ah, dia harus segera membenarkan nada sumbang itu. Kalau-kalau mendadak istrinya itu minta dimainkan biola, bagaimana bila salah satu nadanya sumbang? Teguh terus mencoba dengan serius.
  ”Pak..ibu menangis...”
Teguh terlonjak. Menoleh. Tampak ketiga menantunya berdiri di mulut kamar. Dan tiba-tiba saja nada sumbang itu sekarang tidak lagi terdengar sumbang. Teguh segera masuk sambil menenteng biola tuanya. Hatinya berasa tak enak. Istrinya itu bukanlah wanita cengeng. Saat berpisah dengan ketiga anaknya dia tidak menangis, bahkan saat sakit begitu hebat menggerus tubuhnya, dia sama sekali tidak pernah menitikkan air matanya. Dan sekarang menantunya mengatakan kalau istrinya menangis? Rasanya dia menjadi galau.
Ditepiskannya tirai yang menutup pintu kamar. Dilihatnya istrinya sedang terbaring, menatap ke arahnya dengan uraian air mata. Teguh segera mendekat, duduk di bibir tempat tidur, membelai lembut.
   “Ada apa, Dik? Mengapa kau menangis? Bukankah semua anak dan menantumu sudah menemanimu..kau sudah begitu rindu pada mereka, kan?”
Gayatri menggeleng pelan,” Itu benar..tapi aku juga merindukanmu...kenapa menolak menemaniku?”
Teguh tersenyum,”Aku sedang membersihkan biola...”
Ah Gayatri…mengapa engkau menjadi manja begini….tanya hatinya heran. Tapi dia juga merasa tersanjung.
Dan keheranannya itu akhirnya terjawab karena tiba-tiba saja istrinya itu tampak kesakitan. Meski semua anaknya sudah hendak membawanya ke rumah sakit. Wanita itu terus saja menggeleng lemah.
   ”Mainkan saja biolamu Mas...hanya itu obatnya...” Pintanya lirih membuat semua anak dan juga menantunya tidak mampu membantah. Teguh mengangguk dan segera memainkan lagu kesukaan istrinya itu. Tapi kali ini entah mengapa dadanya terasa nyeri. Selama memainkan biola tua itu, matanya selalu berkabut padahal dia begitu ingin memandang istrinya. Dikerjab-kerjabkannya matanya, berusaha menjernihkan pandangan. Tampak olehnya istrinya itu tersenyum sambil menatap ke arahnya. Teguh tahu, pastinya sakit sekali yang dirasakan istrinya itu. Tapi seperti biasa Gayatri berusaha menyembunyikannya. Dia tahu betul istrinya selalu berusaha membuat dirinya tidak khawatir. Ah Tuhan...aku mohon...sirnakan segala kesakitannya. Buang jauh-jauh dari tubuh ringkihnya..aku tak tahan Tuhan..tak tahan....
   Teguh tetap menggesek biolanya meski rasanya dia sudah begitu ingin memeluk istrinya, membenamkannya dalam pelukan sekedar ikut berbagi penderitaan.
   Teguh semakin merasa nyeri, hatinya remuk. Mata itu, mengapa mata itu semakin meredup, Tuhan...kemana gerangan perginya binar ceria yang selalu terpancar meski dia merasa sakit. Mengapa...mengapa bertambah redup binar itu...mengapa...? Teguh terus menggesek biolanya, kali ini dia memejamkan matanya dan mulai menangis. Anak pertamanya menutup mata redup milik sang ibu yang telah kosong. Teguh, kalau bukan anaknya yang menyuruhnya berhenti bermain biola dia tidak akan berhenti. Dan sekarang dia terduduk di lantai, memeluk biola tuanya sambil menangis. Menangisi jasad istrinya yang beku. Gayatri…dia telah pergi….
*****
   Teguh memandangi biola tua yang sedari tadi didekapnya. Biola itu begitu memiliki kenangan yang sangat indah. Biola itulah yang membuat Gayatri jatuh cinta padanya, dan selalu berkata kalau dia tidak akan pernah bisa bosan memandang dirinya bila memainkannya. Dan Gayatri menepati janjinya. Dia terus memandang suaminya yang bermain biola hingga di ujung waktunya. Teguh memandangi wajah istrinya yang tampak seperti terlelap di dalam petinya.
   Diletakkannya biola itu di dalam peti itu. Teguh merasa hanya itulah yang bisa menggantikan dirinya menemani wanita terkasih. Biola itu begitu disayanginya. Dan biola itu satu-satunya obat penghilang rasa sakitnya, biarlah biola itu ikut dengannya, Teguh merelakannya. Semoga saja biola itu bisa menggantikan dirinya melindungi istrinya yang sudah terbebas dari segala penderitaan.
   Saat peti mati di masukkan ke liang lahat. Teguh melemparkan mawar putih ke dalamnya. Mawar putih tanda cinta. Teguh akan tetap mencintai Gayatri meski dia telah pergi. Dia akan menunggu. Menunggu jemputan yang sudah begitu dinantikannya. Semoga saja tidak lama lagi. Karena semua tugasnya sudah selesai. Sudah tidak ada lagi alasan dirinya berada di sini.
*****
   Di mana ini? Sebuah danau indah terbentang sempurna begitu tenang dan damai. Tampak cahaya bulan purnama di dalam danau itu seperti sedang bercermin saja. Teguh ingat danau ini, dia pernah berada disini. Ditatapnya sesosok tubuh yang begitu dikenalnya. Sosok tubuh yang menari dengan riang. Sosok Gayatri istrinya. Lalu dia menatap tangannya. Entah darimana asalnya mengapa biola sudah berada di genggamannya? Padahal biola itu sudah menemani istrinya kemarin?
   Teguh sudah malas memikirkannya. Dia sudah begitu rindu pada istrinya itu. Padahal baru sehari ditinggal olehnya rasanya dia sudah begitu merasa sepi dan rindu. Bukan hanya rindu pada wanita terkasih, tapi juga pada si biola tua. Tidak pernah dia berlama-lama berpisah dengan keduanya.


Dan sekarang mereka begitu dekat, Teguh segera memainkan melodi indah guna mengiringi tarian gemulai milik istrinya. Teguh begitu merasa damai. Akhirnya, akhirnya mereka bersama lagi. Bersama untuk selamanya bertiga dengan si biola cinta.
*****
BIODATA
MADITA NUGROHO, Cerpenis
(021-8440169 / 08128054180)

  

Selasa, 14 September 2010

KEMBALI


   Hingar bingar suara musik di klab malam mengorek telinga. Banyak orang melantai seolah melepas penat. Jo menatap nanar. Ditenggaknya wine yang sudah hampir habis. Dibuangnya tatapan kembali pada orang-orang yang asyik melantai. Ditariknya nafas dalam berusaha mengenyahkan sedih.
Tidak perlu waktu lama dia sudah mampu menemukan sosok yang selama ini dekat dengannya, tapi tak mampu diraihnya. Ditatapnya sendu sosok itu. May. Dia bukanlah wanita baik-baik. Dia pelacur yang sudah menghabiskan hidupnya sejak masih mengenyam indahnya bangku sekolah. Bukan untuk mencari uang sebagai pemenuhan kebutuhan sekolahnya, melainkan hanya untuk bersenang-senang. Awalnya. Dan ternyata memang bersenang-senang sampai dia tak mampu berhenti. Dipuja, diperebutkan, diraih, dan ditiduri oleh begitu banyak pria membuatnya begitu merasa sempurna.
   Sekali lagi Jo menarik nafas panjang. Ditatapnya masih dengan sendu wanita yang kini sedang berduaan di pojok sebuah ruangan yang tampak lebih remang dari tempatnya duduk sekarang ini. Tapi Jo masih bisa menatap indahnya tawa yang tersaji dari bibir May yang entah sudah berapa kali pula dia mencicipi kedahsyatannya. May! Dia memang seorang pelacur. Memang itulah pekerjaannya. Memuaskan semua pria yang datang padanya. Jo sudah tahu itu tapi tetap saja masih belum bisa menahan kobaran cemburu meski sudah berusaha membunuhnya. Semakin dibunuh, semakin rasa itu seolah mencekik lehernya. Dibayarnya minuman yang sudah diminumnya, lalu kakinya beranjak mendekati sosok yang sejak tadi sudah membuatnya putus asa. Putus asa karena tak akan pernah mampu memilikinya secara utuh.
   ”May!” Panggilnya lirih.
   May yang sedang bermesraan dengan seorang pria yang entah siapa pria itu Jo tidak perduli, menoleh, menatapnya heran. Kembali Jo merasa begitu habis terlumat oleh rasa marah dan sedih melihat May yang meminta diri dengan sangat sopan pada laki-laki itu, sambil tak lupa mengecup bibirnya nakal.
   “Ada apa sih, Jo? Kau tidak lihat aku sedang ada tamu!” Tanya wanita itu sedikit gusar.
   Jo menatap pedih. Diraihnya pinggang wanita itu,”Ikutlah denganku, May!”
   May tersenyum,”Hm...kau akan bayar aku berapa?” tanyanya nakal.
   Jo terbelalak,”May!” Jo merasa begitu sakit. May tidak pernah bertanya seperti itu padanya. Wanita  itu tidak pernah meminta apapun darinya, karena Jo tahu hanya bersama dirinya May bahagia. Tapi mengapa May malah bertanya demikian menyakitkan?
   May tersenyum manis, mengerling genit,”Beib, aku cuma bercanda...Hm, nanti ya...nanti aku pasti ada waktu untukmu, oke...sekarang aku mau bersenang-senang…jangan mengganggu lagi, ya…” Bisiknya nakal sambil beranjak kembali kepada laki-laki yang tampaknya sudah mulai gusar. Dan May! Dia tahu betul apa yang harus dilakukannya untuk menenangkan pelanggannya supaya semua berjalan baik-baik saja. Jo segera pergi meninggalkan tempat itu. Dia sudah tidak betah lagi berlama-lama memandangi May yang tampak begitu menikmati permainannya. Jo ingin berlari sejauh mungkin. Sejauh mungkin dan tak ingin kembali. May! May nya selalu saja tidak pernah mengerti akan dirinya. Selalu senang bermain-main sampai tidak pernah puas, sampai tidak pernah bisa berhenti. Hatinya remuk.
*****
   Jo terpekur menatap kosong pada laptop yang masih menyala di depannya. Setumpuk berkas yang tadi diserahkan sekeretarisnya untuk ditandatanganinya masih tergeletak rapi tak tersentuh. Dibukanya sekilas dengan ujung jarinya, lalu ia menghela nafas panjang.
   ”Pak..ada nona May...apa bapak ada waktu?” Tiba-tiba terdengar suara Stella di intercomnya. Jo tersentak sedikit, membuang nafas jemu. Sebenarnya dia enggan bertemu dengan wanita cantik itu, tapi selalu saja tidak berdaya.
   Tiba-tiba pintunya terbuka. Sudah muncul wanita cantik yang selalu membuatnya terluka, tapi juga selalu mampu memaafkannya.
   “Sori, Say aku langsung masuk…apa kabar? Semalam aku tunggu kok nggak datang…marah ya sama aku?” Tanyanya ringan. Sama ringannya dengan langkah dan juga gayanya yang sekarang dengan santai mendudukkan dirinya pada pangkuan Jo. Jo sudah tidak mampu marah lagi. Wanita ini terlalu berpengalaman untuknya. Selalu saja mampu membuatnya goyah dan tidak berdaya. Wanita inilah yang mampu membuatnya mengambil keputusan yang begitu membuat marah keluarga besarnya. Membuatnya meninggalkan sekeping hati yang begitu sempurna mencintainya tanpa cacat. Indy. Entah dimana perempuan itu, setelah Jo memutuskan untuk membatalkan pernikahannya, dia tidak pernah lagi bertemu dengannya. Jo, hatinya begitu dirajam perasaan berdosa bila mengenangnya. Indy. Gadis itu begitu baik, cantik, lembut. Sempurna!
   ”Hai, Sayang...kau ini kenapa mendiamkan aku begini...masih marah..Hm?” sekali lagi May menggoda Jo, kali ini tidak hanya dengan ucapan, tapi tangannya sudah mulai menjelajah. Jo tersenyum,”Hm..tidak..aku tidak marah...aku kan tidak pernah bisa marah padamu, bukan begitu?”
   May tertawa. Menang! Jo menikmatinya, meski ada sebentuk perasaan pedih yang menyelinap cepat bertengger di lorong hatinya yang tersembunyi. Ah, mengapa selalu saja goyah bila berhadapan dengannya? Ada apanya di tubuh wanita penggoda ini? Bisik hatinya.
Dan Jo memang sudah tidak mampu marah lagi. Dengan cepat dia meminta sekretarisnya untuk menolak semua tamu yang datang, karena dia sudah begitu sibuk dengan tamunya yang satu ini. Dan hanya dinding bisu ruang kerjanya yang menjadi saksi semua perbuatan mereka, yang pastinya bukan untuk pertama kalinya.
*****
   Jo terhenyak! Jantungnya serasa lompat dari dadanya menatap wanita yang baru saja ditabraknya tanpa sengaja. Dia begitu terburu-buru ingin bertemu dengan May sampai tidak terlalu memperhatikan jalan. Dari arah kiri tiba-tiba saja sebuah motor lewat, dia sudah berusaha menginjak rem, tapi entah mengapa mobilnya terlambat untuk berhenti. Jo segera keluar dari mobil, segera menolong orang yang ditabraknya itu. Untung saja tidak parah, hanya motornya yang tampak sedikit lecet.
   ”Maafkan saya...sungguh, saya tidak sengaja.” Jo benar-benar meminta maaf. Gadis itu membuka helm dan kaca mata hitamnya, saat itulah Jo langsung lemas. Itu Indy! Ya, Tuhan..akhirnya dia bertemu lagi dengan wanita ini dan hampir saja mencelakainya...?
   ”Aku tidak apa-apa..” Jawabnya pelan, gugup.
Jo terkaget sampai tidak mampu bicara. Bahkan hanya untuk menyebut nama gadis itu saja dia tak mampu. Apakah ini yang namanya termakan habis oleh rasa bersalah? Jo tidak mengerti. Meski dia mampu membantu wanita itu berdiri dan menegakkan kembali motornya,  tetap saja dia bisu. Dia mulai tidak mampu lagi untuk bisu ketika tahu kalau lutut Indy ternyata berdarah.
   ”Aku akan mengantarmu ke rumah sakit...lukamu harus diobati...” begitu katanya. Seraut wajah khawatir tersaji di parasnya. Indy hanya tersenyum sambil menggeleng pelan,”Tidak usah..aku bisa sendiri”
   ”Tapi...”
   Indy tetap menggeleng sambil kembali mengenakan helm dan mulai menyalakan mesinnya. Motor itu berlalu meninggalkan Jo yang masih terpekur sendu. Ah, Indy...entah apa namanya yang tiba-tiba bergetar pada dinding hatinya. Wanita itu masih cantik seperti dulu. Cantik seperti saat dia mengenalnya pertama kali. Dengan langkah gontai Jo kembali menuju mobilnya. Sekarang dia sudah tidak buru-buru seperti tadi. Kalau kali ini dia terlambat menemui May yang pastinya sudah sibuk dengan para pelanggan yang sudah begitu menantikannya, dia pasrah. Kenangannya terlempar ke masa lalu. Indy! Mereka bertemu pertama kali di Bali. Kala itu, Jo bersama keluarga besarnya sedang menikmati liburan di sana. Indy lah yang menjadi pemandu wisatanya. Awalnya Jo masih belum terlalu terpikat, tapi kemudian dia tidak mampu untuk tidak jatuh cinta pada gadis itu saat Indy dengan sigapnya menolong Neneknya yang tiba-tiba saja mendapat serangan jantung. Jo sama sekali tidak mengira kalau gadis cantik yang tampak biasa-biasa saja sebagai seorang pemandu wisata itu ternyata adalah seorang dokter. Jo terkagum sampai akhirnya tidak mampu lagi menahan nyanyian cinta yang tiba-tiba berdendang nyaring dalam hatinya. Dan betapa beruntungnya Jo, kala gayung pun bersambut. Tidak membutuhkan waktu lama mereka untuk saling mengenal, semua berjalan begitu cepat. Rasanya sudah begitu tak sabar ingin segera mengikatkan diri pada sebuah tali pernikahan. Hanya saja semuanya jadi berantakan saat dia mengenal May. May datang dengan begitu tak terduga, dia datang untuk melayani seorang tamu penting Jo dari Tokyo. Tapi malam itu, May bukannya tidur dengan tamu penting itu, dia malah tidur bersama Jo.
Ah, Indy..maafkan aku…bisik hatinya lirih. Dia tidak akan pernah lupa bagaimana gadis itu menangis saat dia membatalkan pernikahan. Saat itu dia melihat Indy sudah begitu anggun dengan gaun pengantinnya. Dan dia, dengan tanpa merasa bersalah mengakhiri semuanya.
   Jo memasuki pelataran parkir klab dan memarkir rapi mobilnya. Belum ada keinginannya untuk keluar dari mobil.  Matanya memanas. Hatinya tiba-tiba saja menjadi begitu pedih. Kenapa..kenapa dia tega melakukannya? Melakukan semuanya itu pada gadis sebaik Indy? Harusnya pertanyaan itu sudah mampu dia jawab setahun yang lalu. Tapi sekarang dia malah merasa malu dan sakit? Apa gunanya lagi kini?
   Dengan enggan Jo keluar dan berjalan menuju ke klab malam itu. Belum terlalu ramai. Malam memang lah belum begitu larut. Didudukkannya tubuhnya di tempat biasa dia duduk, dan memesan segelas bir.
   ”Kau terlambat, Jo...” Suara May mengagetkannya. Jo tersentak, menoleh, menatap sendu. May! Wanita yang sama sekali tidak punya kelebihan apa-apa selain kehebatannya dalam segala macam urusan seks ini yang membuatnya mampu menghancurkan hati seorang gadis yang begitu sempurna. Indy sama sekali tak tersaingi apalagi bila disandingkan dengan wanita sekelas May yang cuma bisa dijadikan sebagai selingan! Betapa bodoh dan butanya ia selama ini!
  ”Sayang..ada apa denganmu? Mengapa kali ini kau tampak begini sedih? Hm...aku rindu padamu, Jo..setiap hari selalu merindukanmu...ayolah..kau jangan sedih begitu...” Goda May sambil seperti biasa tangannya menjelajah tubuh Jo.
   Tapi entah mengapa Jo tidak lagi berminat. Malahan muak. Dilepaskannya tangan May dengan kasar, matanya menatap tajam.
   ”Cukup, May! Cukup sampai di sini! Ini terakhir kalinya aku ke sini, jangan pernah mencariku lagi! Karena aku tidak akan kembali!” Tegas tak terbantah kata-kata Jo membuat May meradang,”Aku tidak pernah mencarimu! Kau yang selalu datang!” May tersenyum sinis menyakitkan.
Jo segera mengeluarkan uang, membayar minuman yang belum juga diteguknya, bergegas ia keluar tanpa bicara apa-apa lagi. Kali ini dia benar-benar tidak perduli. Bahkan kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulut May sama sekali tidak berasa menyakitkan. Dia tahu May bicara begitu hanya untuk menahannya. Kalau May memang tidak pernah mencarinya, lantas mengapa juga dia kerap datang di siang hari ke kantornya. May bisa menanyakan langsung pada dinding kantornya itu seandainya saja mereka tidak bisu.
*****
   Jo duduk di dalam bis wisata yang mengangkutnya menuju Kuta Bali. Berusaha keras dia mencari jejak Indy, akhirnya ditemukannya juga gadis itu. Masih seperti dulu. Indy masih seperti satu setengah tahun yang lalu. Saat ini dia sedang memandanginya. Memandangi sosoknya yang lembut dengan senyum manis yang terkembang indah menerangkan segala seluk-beluk Bali yang sudah dia ingat di luar kepalanya.
   ”Aku begitu cinta pada pulau ini..makanya kalau sedang senggang aku menjadi guide di sini....rasanya menyenangkan.” Begitu dulu jawaban Indy saat Jo menanyakan mengapa seorang dokter seperti dirinya menjadi seorang guide. Dan saat mereka bertemu pandang, entah untuk ke berapa kalinya dia bertemu pandang dengan gadis itu, dia bisa merasakan dalamnya goresan perih yang begitu menyayat tertangkap hatinya. Jo tahu betul pedih macam apa yang dirasakan gadis itu.
   Tapi kali ini Jo sudah bertekad, bagaimana pun caranya, walaupun dia harus bersujud di kaki gadis itu pun akan dia jalani asalkan bisa mendapatkan maafnya. Jo tidak main-main. Dia sudah bertekad,  bertekad untuk kembali.
*****

SANG DEWI


   Panas terik menggigit kulit kepala. Matahari tanpa ampun memancarkan sinarnya memamerkan keperkasaannya. Anginpun tak lagi mampu berhembus sejuk. Kering dan panas. Halaman kampus terlihat sepi. Mungkin para mahasiswanya pada malas menjejakkan kakinya di sana. Melihat cuaca yang begitu tak bersahabat, rasanya lebih enak ngadem di kantin ataupun di perpustakaan. Atau bisa juga duduk-duduk santai di pinggir koridor menunggu jam kuliah berikut, atau langsung pulang saja bila memang sudah tidak ada lagi urusan yang harus diselesaikan di sana. Sama seperti Angga. Jam kuliahnya baru saja berakhir. Sambil menenteng gitar kesayangannya yang sudah tampak butut, dia segera berjalan bergegas langsung menaiki sebuah metromini yang lewat. Bukan untuk pulang, tapi ngamen. Memang itulah pekerjaan sambilannya. Sambil kuliah di sebuah fakultas teknik sipil, dia juga mengamen demi bisa terus kuliah. Metromini tampak sepi. Hanya beberapa saja penumpang yang ada, beberapa diantaranya Angga tahu, mereka teman-teman satu universitas. Meski tak kenal namanya, Angga tetap saja mengamen dengan santai. Tidak bisa dipungkiri, suara Angga memang enak didengar. Serak-serak basah. Seksi kata orang, ditambah wajah yang lumayan tampan, rasanya dia jarang mendapat uang yang sedikit. Angga menyelesaikan lagu Yogyakartanya Kla Project dengan manis. Meski itu sebuah tembang lawas, entah mengapa masih saja enak didengar. Dan saat dia mulai menyusuri para penumpang dengan kantong bekas bungkus permen andalannya, penumpang pun memberikan uang ala kadarnya. Angga sudah bersyukur. Ditebarnya senyum manis pada teman-teman sekampusnya, mereka pun membalas ramah sambil tak lupa memberikan uang. Angga sama sekali tidak risih apalagi malu. Dia harus realitistis. Hidup jauh dari orang tua kalau hanya mengandalkan uang bulanan kiriman yang pastinya tidak banyak jumlahnya, yang hanya mampu untuk membayar kost-kostannya, mengamen adalah pilihan mencari uang terbaik. Halal, dan menyenangkan karena dia begitu suka menyanyi. Dan rasanya ada kepuasan tersendiri bila dia mampu menghibur para penumpang meski tidak semuanya memberinya imbalan, tapi dia tetap saja menjalaninya dengan riang.
   Disebuah halte dia turun,”Yuk guys, duluan!” Pamitnya pada sesama rekan kuliahnya. Mereka mengangguk sambil melambaikan tangan.
Angga menjejakkan kakinya di halte yang lumayan ramai. Panas hari ini memang luar biasa menyengat. Tapi Angga tidak memperdulikannya, dia harus segera kembali bekerja.
*****
   Angga menyanyikan lagu Sebenarnya Cinta milik Letto yang lagi kondang. Bis yang dinaikinya lumayan penuh meski tidak ada penumpang yang berdiri. Hanya tersisa satu dua bangku saja yang masih  kosong. Dari tadi matanya tak bisa lepas dari seseorang yang mencuri hatinya. Dia tidak mampu melihat gadis itu secara utuh, karena sedari tadi gadis itu tampak memandang keluar jendela. Yang menarik perhatiannya adalah mulut gadis itu. Mulutnya bergerak-gerak sesuai dengan lirik lagu yang sedang dinyanyikannya. Entah mengapa dia tersanjung melihatnya. Berarti gadis itu begitu menikmati nyanyiannya. Rasanya tak mau dia mengakhirinya, tapi bagaimanapun dia harus mengakhirinya dan berpindah pada lagu yang lain. Sekilas Angga melirik lewat sudut matanya, gadis itu akhirnya memandangnya juga. Ah, manis sekali. Angga sampai menelan ludah terpesona akan sosoknya. Dan gadis itu tersenyum ke arahnya, Duuh..mimpi apa dia semalam? Dia pun membalasnya meski dengan gugup. Sebuah tembang lawas berjudul Beautiful Girl langsung saja dinyanyikannya tanpa berpikir dua kali. Lagi-lagi gadis itu membuang tatapannya ke jendela, sambil mulutnya ikut berkomat kamit. Angga sampai ingin mendekatinya. Ingin mendengar seperti apa suaranya. Tapi manalah mungkin? Dia cuma bisa memandang tanpa bisa berbuat apa-apa selain menyanyi. Sayangnya dia tidak mampu berlama-lama lagi, karena bis yang dinaikinya sudah hampir memasuki terminal. Segera saja dia menyudahi lagunya, dan bergegas menuju penumpang. Dan begitu sampai pada gadis manis tadi, jantungnya serasa berhenti berdegup. Bukan apa-apa, gadis itu selain memberinya uang dan tersenyum manis, dia juga berujar lembut,”Suara kamu bagus, aku suka.”
Duuh Gusti...sekali lagi Angga melambung. Dia cuma bisa tersipu sambil tersenyum malu, entah mengapa untuk sekedar mengucapkan terima kasih saja dia tidak sanggup membuka mulutnya. Dia terus bergegas menuju tempat duduk berikutnya, karena sebentar lagi penumpang akan berdiri dan turun. Dia bisa kehilangan rezekinya. Dan saat dia membalik, gadis itu sudah lenyap. Angga menoleh-noleh, segera berlari menuju pintu keluar dan turun saat bis mulai berjalan lambat, matanya masih mencari-cari, tapi manalah bisa mendapatkan sosoknya di tengah lautan manusia begini? Angga hanya bisa menghembuskan nafas berat. Dan dengan gontai mulai memasuki bis yang lain.

*****
   Sudah beberapa kali Angga berusaha mencari jejak sang gadis manis yang sudah mencuri hatinya itu. Tapi sampai sekarang nihil masih menjadi jawabnya. Dia sudah selalu menaiki bis yang sama pada jam yang sama, tapi entah ke mana gadis manis itu, seperti hilang ditelan bumi. Kalau mengingat perawakannya dan gaya pakaiannya juga tas yang dijinjingnya beserta beberapa buku yang tampak, sepertinya gadis itu mahasiswi sama seperti dirinya. Tapi mahasiswi apa, dari universitas mana? Angga manalah tahu? Di Grogol ini ada beberapa universitas yang berdiri di sana, dia belum segila itu untuk mengobok-obok isinya.
Dengan kesal dihempaskannya tubuhnya ke tempat duduk yang ada di halte. Hari ini dia sedang sial. Sedang enak-enaknya menyanyi, senar gitarnya putus. Malu dia untuk meminta uang pada penumpang, satu lagu yang dinyanyikannya belum juga habis, dia harus terpaksa berhenti. Uh!
   Ditatapnya jalan raya yang berdebu lebat lengkap dengan asap knalpot hitam yang menjejali udara panas itu dengan sendu. Hari ini entah mengapa dia merasa tidak seperti biasa. Mungkin sudah putus asa dia mencari sosok gadis manis pujaan, membuatnya tidak bersemangat. Belum lagi kalau ingat senar gitarnya yang putus, dia semakin malas untuk mengerjakan apapun. Angga memang tidak berharap apa-apa, dia cukup tahu diri. Dia cuma ingin memandang gadis itu, cuma ingin menikmati mulutnya yang komat-kamit ikut menyanyikan lagu yang dia nyanyikan, itu saja. Syukur-syukur bisa tahu namanya. Tidak pun tidak mengapa, asal bisa menatapnya saja dia sudah merasa cukup. Tapi dimana dia harus mencarinya? Mencari gadis manis itu?
   Dipandanginya gitar bututnya. Dilepaskannya senarnya yang putus. Sayup-sayup dia mendengar suara seorang pengamen lain yang bernyanyi tak jauh dari tempatnya duduk. Angga melirik sekilas. Kembali jantungnya berhenti berdegup. Gadis itu! Ternyata yang menyanyi di ujung sana adalah gadis manis yang sudah dia cari-cari selama ini. Lihatlah, gadis itu kini sedang menatap ke arahnya, tetap menyanyi dengan gitarnya. Angga tertegun, terpesona. Pengamen? Gadis itu pengamen juga seperti dirinya? Segera dia berjalan mendekat, tersenyum semanis mungkin bermaksud menyapa, tapi dia berusaha menunggu gadis itu menyelesaikan lagunya.
   “Hai! Kita ketemu lagi..” Sapa gadis itu akhirnya. Angga tersenyum sambil kemudian duduk di sampingnya.
   ”Iya..Hm, aku Angga..” Angga langsung mengulurkan tangannya. Gadis itu balas menjabat,”Dewi”
   “Gitarmu kenapa? Putus senarnya?” Tanyanya ramah tanpa bermaksud meledek. Angga mengangguk pelan,”Iya…yah, lagi sial!”
   “Hm..berarti nggak bisa ngamen lagi, dong…”
   Angga cuma bisa tersenyum kecut,”Iya.”
   “Ngamen bareng aku aja, mau?” Tawarnya tiba-tiba membuat Angga terlonjak. Ya Tuhan..tentu saja dia mau sekali! Tapi…
   “Kenapa? Nggak mau?”
   “Ah, eh, Hm..ya mau, tapi…”
   ”Kalau gitu nggak ada tapi...ayo!” Dengan cepat gadis itu langsung menarik tangan Angga dan menaiki sebuah bis yang sedang berhenti. Angga tidak mampu menolak. Bahkan kala gadis itu menukar gitarnya dengan gitar miliknya yang putus senarnya,”Kau yang main, kita nyanyi berdua, ya.” Begitu pintanya Angga cuma bisa mengangguk patuh bak seorang anak kecil saja. Dan mereka pun bernyayi. Awalnya Angga bingung akan menyanyikan lagu apa. Tapi dia teringat lagu milik Letto yang dia nyanyikan tempo hari saat dia bertemu dengan Dewi. Saat Angga memainkan intronya, Dewi tersenyum ke arahnya, Angga sampai goyah. Semakin goyah saat mendengar suara Dewi yang begitu terdengar merdu di telinganya. Angga berusaha mengimbanginya. Dewi mampu mengisi suara dua dengan baik, membuat Angga terheran. Gadis ini begitu mengerti melodi. Tidak ada satu nada pun yang meleset saat dia bernyanyi padahal mereka sama sekali belum latihan. Angga memandang takjub. Ah, hari ini dia begitu bahagia. Sudah lama dicarinya gadis pujaan ini, akhirnya bertemu juga dia dengannya. Malahan bisa ngamen bersama, benar-benar tak terduga. Angga sampai tidak ingin hari ini berakhir.
 Dan memang tidak pernah berakhir, karena hari-hari selanjutnya dia dan Dewi selalu mengamen bersama meski sekarang gitarnya sudah tidak putus lagi. Angga begitu bahagia.
*****
 Angga duduk terpekur di halte bis yang sepi. Matanya kosong menatap sisa-sisa hujan yang membasahi jalanan yang tadinya kering dan panas. Halte itu adalah halte tempat biasa dia janjian berdua dengan Dewi. Hatinya gundah. Dewi. Gadis itu ternyata bukanlah seorang pengamen biasa. Angga mengetahuinya kemarin saat dia membuntuti gadis itu pulang. Angga benar-benar penasaran akan sosoknya. Gadis itu selalu saja menolak bila dia ingin mengantarnya pulang, selalu saja mengalihkan pembicaraan bila dia menanyakan kehidupannya. Dan dua hari yang lalu, gadis itu kedapatan sedang bicara di handphone yang Angga tahu sekali kalau itu bukanlah HP murahan. Dewi, ternyata gadis itu tinggal di sebuah rumah di kawasan elit. Dan kemarin, Angga memperhatikan dari kejauhan sosok Dewinya yang tampak begitu anggun keluar dari sebuah mobil mewah memasuki rumahnya. Mereka bahkan sempat bertemu pandang. Ah…dia benar-benar tak mengerti.
   “Kau melamun, Ngga?” Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang begitu dikenalnya mengagetkannya. Angga terlonjak, menoleh. Tampak olehnya Dewi sudah seperti Dewi yang biasa dia temui. Dewi yang memakai kaos oblong dengan jeans yang robek lututnya, lengkap dengan sepatu butut dan gitar yang tampak usang. Gadis itu mengernyitkan dahi bingung.
   “Hai sobat, kau ini kenapa? Menatapiku seperti itu, sepertinya aku ini hantu saja!” Gadis itu tertawa renyah. Angga tidak mampu tertawa. Malahan matanya bertambah sendu. Dewi langsung menghentikan tawanya.
   ”Hm...kau begini pasti karena kemarin sore kan, Ngga?” Tanya Dewi tanpa menoleh. Matanya menatap murung ke jalan raya yang sekarang disapu gerimis kecil. Angga tidak menjawab. Matanya semakin tampak kosong.
   ”Aku bosan hidup di sana. Hidup yang penuh dengan aturan dan sopan santun yang menjemukan. Hidup penuh kepalsuan. Aku senang menjalani hidup di jalanan, menyanyi sesuka hati tanpa takut orang akan menghardik, makan di pinggir jalan tanpa perlu takut salah mengambil sendok ataupun garpu. Apa aku salah, Angga...?” Tanyanya lirih. Wajahnya tersembunyi dalam tundukan yang begitu dalam. Angga menoleh, tersenyum,”Tidak...kau tidak salah, Wi...hanya saja semuanya terasa begitu mengagetkan buatku..kalau saja kau berterus terang sejak dulu...aku tidak akan sekaget ini...”
   Dewi menegakkan kepalanya, menatap Angga yang tersenyum, dia pun membalas sambil menghapus air matanya yang sempat meleleh,”Berarti kau masih mau kan berteman denganku...masih mau kan mengamen bersamaku...masih...”
   ”Tentu saja..!” Jawab Angga cepat sambil menarik tangan Dewi dan mengajaknya berlari untuk mengejar bis yang hampir saja pergi.
   ”Asal kau masih mau menyanyi bersamaku yang benar-benar seorang pengamen jalanan, bukannya seorang dewi seperti dirimu...” Sambungnya. Sayang bis itu tidak mau berhenti. Berjalan dengan cepatnya sambil menyisakan hitamnya asap knalpot yang melumuri keduanya.
   ”Jangan pernah mengungkit itu lagi, Ngga. Aku ingin kau tetap menganggapku Dewi yang seperti biasa.”
   Angga hanya bisa menatap takjub. Gadis di sampingnya ini begitu luar biasa. Tampak senyumnya terkembang. Dianggukkannya kepalanya dengan pasti. Ah Dewi...kamu memang seorang Dewi...

*****

AKHIRNYA CINTA ITU DATANG JUGA

                                          

   Riri tetap sibuk mengganti cairan infus, memeriksa tetesannya dan memperhatikan keadaan infus itu pada lengan seorang pasien, meski lewat ujung matanya dia melihat suaminya yang sudah dia hafal betul seperti apa pandangannya. Riri gemas sekali. Ryan suaminya itu seorang dokter, tapi kenapa pencemburu sekali. Bahkan pada pasiennya sendiri. Uh! Kalau suaminya itu bukan seorang dokter, dia tidak akan segemas ini. Dia akan mencoba mengerti, tapi ini? Bukankah sudah hal yang biasa sekali memegang lengan pasien, memeriksa dengan teliti, dengan penuh perhatian, karena mereka bukannya menghadapi benda mati layaknya buku dan kertas-kertas seperti pekerja kantoran. Mereka ini melayani manusia yang tidak bisa seenaknya memperlakukan karena mereka punya jiwa. Masa Ryan tidak mengerti? Kemana perginya akal sehat suaminya itu!
   ”Sudah, Ri...kau urus saja catatan perawatan di buku. Sudah..itu Dokter Ryan sudah seperti akan melahapmu...” Dian teman sejawatnya segera membimbing Riri menuju nurse station.
   ”Biarkan saja. Dia sendiri kan dokter. Dokter kandungan lagi.” jawabnya santai. Dia benar-benar tidak akan memperdulikan lagi kecemburuan suaminya yang sekarang sudah tidak terlihat batang hidungnya. Di rumah pasti mereka akan bertengkar lagi. Uh, penat sekali rasa hatinya. Baru juga sebulan dia menikahi laki-laki itu, harusnya pernikahannya ini masih hangat-hangatnya karena mereka masihlah pengantin baru. Tapi rasanya Riri sudah ingin berpisah saja darinya. Dulu Ryan tidak pernah seperti itu. Ah, dia tahu sekali Ryan..mereka bersahabat sejak masih kecil. Tidak hanya berdua, tapi bertiga dengan Rico. Ah, kalau mengenang Rico dia merasa pedih. Rico, sejak kecil dia selalu memimpikan menjadi mempelainya, mereka sering dijodoh-jodohkan menjadi sepasang pengantin kala bermain bersama kawan-kawan sebaya dulu. Sementara Ryan bertindak selaku juru nikahnya. Dan impian itu sudah terwujud. Riri memang menikah dengan Rico. Bahagia pasti. Impiannya terwujud. Memiliki laki-laki sesempurna Rico membuatnya menjadi wanita paling bahagia seantero jagad ini. Rico, seorang polisi yang begitu pemberani, selalu berusaha melindunginya dari apapun. Selalu mampu mencintainya, memperhatikannya sampai pada hal terkecil sekalipun, meski kesibukannya begitu tak ada habisnya. Dan keberanian yang selalu dibangga-banggakan oleh Riri itulah yang membuat suami tercinta itu mati saat melaksanakan tugasnya. Dan sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, laki-laki itu menitipkannya pada sahabatnya. Memintanya untuk menikahinya, karena dia hanya akan bisa pergi dengan tenang bila Ryan yang menjadi pelindungnya. Waktu itu Riri hanya bisa menangis. Sementara Ryan mengangguk berusaha memenuhi permintaan Rico. Dan sekarang? Ah! Baru juga sebulan usia pernikahannya, setiap hari hanya berisi salah paham dan cemburu. Dia tidak mengerti. Di mana letak kesalahan semua ini?
   Riri tahu betul Ryan itu bukan tipe pencemburu. Dia itu petualang cinta sejati. Dia itu play boy yang sudah berderet-deret wanita patah hati dibuatnya. Pindah dari satu pelukan wanita, ke pelukan wanita yang lain. Mengapa sekarang menjadi begitu posesif? Riri benar-benar habis sabar. Sedikit-sedikit Ryan sudah menuduhnya sok dekat dengan Irwan, salah seorang dokter muda di sana, atau menuduhnya sok perhatian pada pasien pria yang dirawatnya. Uh, benar-benar menyebalkan.


*****

   “Kalau begitu aku keluar saja dari rumah sakit itu!” Ancam Riri pada suaminya. Benar-benar pengap rasa hatinya dituduh macam-macam.
   “Kau tidak boleh keluar! Justru aku bisa semakin gila kalau kau jauh dariku Ri!”
   ”Kau memang sudah gila, Yan! Kau harus menemui Prof. Hanggoro untuk berkonsultasi padanya! Aku muak dengan semua ini!” Jawabnya sengit sambil menenteng tasnya.
   ”Kau mau kemana?”
   ”Mau ke rumah ibu! Cuma ibu yang bisa mengerti!”
   ”Pergilah!!” Jawab Ryan tak kalah sengit. Riri tidak menunggu lagi. Segera dilangkahkannya kakinya keluar, memberhentikan taksi yang lewat, lalu masuk ke dalamnya. Ryan mengawasinya dengan sendu dari jendela depan rumahnya.   Dihempaskan dirinya ke sofa. Matanya menatap nanar foto pengantin yang terpajang di tembok. Menikahi Riri adalah impiannya. Sejak kecil dia selau memimpikannya. Tapi dia tidak pernah bisa mendapatkanya karena wanita itu begitu mencintai Rico dan hanya menganggapnya sebagai kakak, tidak lebih. Kalau dia mengembara mencari cinta pada semua wanita yang pernah menjadi pelabuhan hatinya meski tak lama, dia hanya sedang berusaha mencari sosok pengganti yang sama dengan Riri, yang tak pernah ditemukannya. Rasanya memang benar Riri…dia harus berkonsultasi pada Prof. Hanggoro. Dia benar-benar sudah gila! Harusnya dia bisa tenang karena sudah bisa mendapatkan wanita impiannya. Tapi mengapa dia begitu ketakutan kehilangan satu-satunya wanita yang paling dicintainya itu. Wanita yang dicintai bahkan melebihi ibunya sendiri? Mengapa dia begitu posesif begini? Ryan sendiri tak tahu jawabnya.


*****


   Riri memandang akuarium di rumah Ibu Ryan dengan sendu. Menatap ikan arwana yang dengan angkuhnya mondar-mandir memamerkan kemolekan tubuhnya. Ibu Ryan sudah bercerita banyak mengenai dirinya. Mengenai semua perasaannya. Ternyata laki-laki itu sudah sejak lama memendam cinta padanya. Kalau dia begitu posesif sekarang ini, dia memang benar-benar tidak mau kehilangan dirinya lagi. Ah, apa yang harus dilakukannya? Riri tidak pernah tahu kalau Ryan mencintainya sedalam itu. Selama ini yang dia tahu Ryan seorang play boy yang tidak pernah bisa puas hanya dengan satu perempuan. Ternyata dia mencari sosoknya pada diri perempuan-perempuan itu? Ah, Ryan….
   Riri terlonjak melihat pintu ruang tamu terbuka. Ryan yang datang. Dia kembali membuang tatapannya ke akuarium. Meski jemu memandangi si arwana angkuh itu, tapi rasanya lebih baik daripada memandangi wajah Ryan yang tampak kusut.
   ”Ibu mana?”
   ”Sudah tidur”
   ”Ayo pulang.”
   ”Hhhh…” Riri menghempaskan tubuhnya di sofa terlentang. Matanya menatap langit-langit ruangan itu. Kosong. Ryan menahan nafas, mendekat dan berlutut di samping sofa,”Maafkan aku Ri...” Pintanya pelan. Riri menoleh. Ryan mengucapkannya begitu sungguh-sungguh. Tapi entah mengapa dia masih belum bisa mempercayainya. Sudah sering sekali kata maaf itu terlontar, tapi toh Ryan tidak pernah berhenti mengulang kesalahan yang sama. Tangannya terulur membelai pipi Ryan,”Apa yang harus kulakukan untukmu, Yan..agar supaya kau bisa sedikit tenang? Aku inikan istrimu..aku tidak akan kemana-mana...”
   Ryan menelan ludah. Terharu. Digenggamnya jari istrinya,”Iya...kau memang istriku...tapi...”
   ”Aku akan berhenti bekerja kalau itu bisa membuatmu tentram.”
   Ryan menggeleng,”Bukan itu...”
   ”Lantas?”
   Ryan tergugu bisu. Riri kembali menatap langi-langit. Menerawang.
   ”Mas Rico tidak akan senang kalau melihat kita begini...bukan ini yang dia kehendaki..”
   Ryan langsung menggenggam lebih erat jari Riri, membuat Riri menoleh. Tampak olehnya Ryan memejamkan mata sambil menunduk.
   ”Itu, Ri...Itu...kau menikahiku karena Rico....aku menikahimu karena cinta...bagaimana aku bisa tenang kalau kau tidak pernah mencintaiku...selamanya aku tidak akan bisa tenang, Ri...”
   Riri terlonjak. Matanya mengembun. Ya, Tuhan...apa yang harus dilakukannya? Mencintai laki-laki ini, dia begitu ingin, tapi tidak bisa. Seluruh cintanya sudah dia persembahkan kapada Rico.
   ”Hm...Ryan...aku memang masih sangat mencintai dia...tapi berikan aku waktu...aku yakin suatu saat nanti aku akan mencintaimu sama seperti aku mencintai dia...tolonglah...jangan bersedih begini. Aku jadi merasa bersalah...” Air matanya menetes. Ryan jadi salah tingkah. Dia biasa menghadapi wanita menangis, tapi tidak Riri. Wanita itu bukanlah tipe wanita cengeng.
   ”Ah, Sayang...sudahlah, kau malah jadi menangis begini...sudahlah...aku akan menunggu sampai kau mencintaiku...aku akan berusaha tidak cemburuan lagi. Sudah, jangan menangis lagi...kau hanya boleh menangis kalau aku mati...sama seperti saat kau menangis ketika dia mati...lain itu, kau tidak boleh menangis, Ri...” Pintanya lirih sambil menghapus air mata Riri. Riri tersenyum sendu. Ah, Tuhan...dia ini begini sempurna, sama seperti Riconya, tapi mereka ini berbeda.

*****


   ”Kau ini kemana saja, Yan? Aku menelponmu dari tadi, tapi HP mu mati? Apa sesibuk itu kamu sampai tidak ada waktu sedikit saja menelponku, heh?! Dan kau lihat sudah jam berapa ini? Pasien macam apa yang bisa menahanmu sampai pulang selarut ini?!”
Ryan hanya bisa mengernyitkan dahi mendengar semburan kata-kata istrinya itu. Sejak kapan istrinya ini jadi begini cerewet. Bicara sampai tidak ada titik komanya.
   ”Ryan! Kenapa diam? Aku bertanya padamu?!” Riri menjerit kesal melihat suaminya itu tidak menjawab apa-apa, malahan menatap heran begitu. Ryan terlonjak, segera mendekat, membelai rambut Riri lembut sambil tersenyum,”Ada apa denganmu, Sayang...mengapa kau jadi marah-marah begini...aku ada pasien gawat tadi, jadi harus segera mengoperasi caesar. Baterai HPku habis, dan aku belum sempat mencharge nya. Hm, bagaimana...apa kau puas dengan jawaban suamimu ini, Ri?”
   Riri mendudukkan diri di kursi. Wajahnya sendu. Diganti-gantinya channel televisi, tidak ada satupun acara yang menarik, dimatikannya sambil membuang nafas jemu. Ryan memperhatikan sejenak, lalu ikut duduk disamping istrinya.
   ”Kau bosan di rumah terus...lebih baik kau kembali bekerja...akukan tidak pernah memintamu berhenti, Ri...”
   Riri menggeleng,”Tidak...aku malas kembali ke rumah sakit...ah, entahlah Yan...aku merasa gelisah terus, bawaannya marah-marah melulu, nggak sabaran...”
   Ryan tersenyum, mengambil koran yang ada di meja, membukanya,”Hm...PMS, ya?”
   Riri menghempaskan punggungnya ke sofa,”PMS apaan...? Sudah dua bulan ini macet!” Jawabnya kesal. Ryan terlonjak. Macet? Dua bulan? Ya Tuhan...jangan-jangan...
Segera ditutupnya koran, ditariknya tangan istrinya masuk ke ruang praktek. Riri ikut dengan bingung.
   ”Kau ini bagaimana bisa sesembrono itu, Ri? Dua bulan macet katamu? Jangan-jangan kau hamil, Nyonya!”
   Riri tersentak. Hamil? Ah, dia tidak terlalu berani berharap. Siklus menstruasinya tidak pernah teratur. Dulu suaminya bilang itu tidak apa-apa, itu hanyalah masalah hormon.
   Riri menatap suaminya dengan tegang. Ryan tampak serius sekali memeriksa perutnya, dan kali ini dia sedang betul-betul memperhatikan layar monitor USG. Semakin tegang rasa hatinya kala suaminya membersihkan perutnya dengan wajah ditekuk kusut.
   “Ada apa? Apa ada mioma? Atau ada kista? Atau...”
   ”Hm...tidak...tidak ada apa-apa...” jawab Ryan pelan. Riri membuang nafas lega, meski hatinya agak sedikit kecewa.
   ”Mulai sekarang kau harus banyak istirahat...tidak boleh memikirkan masalah-masalah berat, banyak makan sayur...jangan lupa minum susu...kau juga harus minum vitamin yang kuberikan...”
   Riri terlonjak. Astaga! Apa-apaan suaminya ini! Dicernanya kembali kata-katanya. Dipandanginya wajah Ryan yang kali ini tampak tak mampu lagi bersandiwara dengan berpura-pura serius.
   ”Kau hamil, Nyonya!” Ryan berkata sambil tertawa lebar. Riri segera bangkit dan memeluk suaminya.
   “Ah, Ryan…aku bahagia sekali…terima kasih, ya…”
Ryan tersenyum sambil mengecup rambut istrinya.
  “Yan…aku mencintaimu...”
Ryan terlonjak. Melepaskan pelukan, menatap serius. Rasanya tak percaya dia akan apa yang didengarnya. Sudah begitu lama dia menunggu kata-kata itu, akhirnya terucap juga. Dan dia semakin yakin kala menatap mata istrinya yang tampak begitu jujur. Sekali lagi Ryan begitu merasa bahagia, karena penantiannya terjawab sudah. Tuhan...terima kasih...
Matanya berkabut menahan air mata haru. Rasanya begitu lengkap semuanya.
   ”Hai! Kau jangan cengeng begitu, Yan! Kau ini sudah akan menjadi ayah!” Sembur Riri. Ryan hanya menanggapinya dengan senyum. Riri tertawa sambil mengecup lembut bibir suaminya.
   ”Terima kasih ya, Ri...terima kasih sudah mau mencintaiku...sudah akan memberiku seorang bayi...aku bahagia..” Bisik Ryan saat Riri kembali memeluknya. Riri hanya bisa menangis haru.


*****