Bara memandangi buku TTS lecek di tangannya. Senyumnya terkembang. Buku TTS ini begitu berharga, buku TTS inilah yang mengakrabkan dirinya dengan Senja. Tidak disangka kalau istrinya itu masih menyimpannya. Dibuangnya tatapannya ke depan. Tampak istrinya yang baru dinikahinya seminggu itu sibuk melayani pembayaran para pelanggan yang usai menikmati makanan dari warung makannya. Tidak sengaja mereka bertemu pandang. Bara melempar senyum. Senja mengernyitkan dahinya sejenak, melihat suaminya mengangkat buku TTSnya, dia pun balas tersenyum. Ah, Bara sampai terpesona. Istrinya itu begitu manis. Senyumnya selalu saja membuatnya goyah. Senyum manis yang lengkap dengan sepasang lesung yang begitu dalam. Rasanya dia ingin mencubit pipi itu karena gemas. Bara kembali menatap buku TTS di tangannya. Ingatannya melayang.
”Ayam bakarnya satu. Paha saja.”
Bara mengangguk. Dengan cekatan dia segera mengerjakan pesanan gadis cantik yang kala itu datang. Diliriknya sekilas lewat ujung matanya. Jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Banyak gadis cantik yang makan di warung ayam bakar miliknya, tapi belum ada yang semenarik ini. Dia tidak terlalu berani untuk curi-curi pandang. Ah, Bara memang sedikit pemalu. Dia pun kembali menyibukkan diri.
Tapi tak lama. Jantungnya kembali berdegup lebih kencang dari biasanya. Gadis itu mendekatinya, menoleh-noleh. Lalu matanya berbinar, meraih buku TTS lecek yang terselip di bawah piring yang berisi dedaunan lalapan.
“Hm..Mas, aku pinjam boleh, ya…”
Belum sempat Bara mengangguk, gadis itu sudah membawa buku TTSnya kembali ke mejanya. Bara tersenyum tapi cuma dalam hati. Kembali dia sibuk. Sekarang sepertinya dia berani curi-curi pandang karena si gadis tampak menyembunyikan wajahnya yang terbenam diantara helaian rambutnya yang indah, sibuk mengisi buku TTS. Ah, Bara sampai terlena, kalau saja dia tak ingat pada ayam bakar yang sedang berada di pemanggangan, bisa-bisa ayam bakar itu jadi gosong. Dengan cekatan dia mengangkatnya, meletakkannya pada sebuah piring. Lalu dia segera menuju meja gadis itu meski dengan sedikit gemetaran.
”Silahkan...”
Gadis itu terlonjak, menatapnya heran,”Lho..kok di letakkan di sini?”
Bara lebih heran lagi. Memangnya harus diletakkan di mana? Tidak ada pelanggan lain selain gadis itu, dan dia tidak mungkin salah, ini adalah pesanannya. Pikirnya bingung.
”Hm, maksudnya Mbak gimana?”
Gadis itu tampak berpikir sejenak,”Memangnya saya tadi tidak bilang ya, kalau pesanannya dibungkus. Akan saya bawa pulang…”
Bara terlonjak, menggeleng cepat. Gadis itu kembali tersenyum,”Ah, kalau begitu maaf, ya…bisa kan kalau sekarang dibungkus saja…”
Bara segera mengangguk dan dengan segera menuntaskan pesanan gadis tadi. Sejenak hatinya gelisah. Ah, aku tidak akan melihatnya lagi. Keluh hatinya. Meski dia bermaksud bergegas menyelesaikannya, tetap saja nalurinya seperti melarang. Dia memperlambat kerjanya, sambil kembali curi-curi pandang, gadis itu tampak kembali larut mengisi buku TTS miliknya.
“Ini, Mbak…” Ujarnya sambil meletakkan bungkusan di meja. Tampak gadis itu terlonjak. Bara sampai merasa tidak enak sudah mengagetkannya,”Ah, maaf saya bikin Mbak kaget...”
Gadis itu tersenyum sambil menggeleng pelan,”Nggak pa-pa..” Jawabnya sambil membuka dompet. Mengeluarkan selembar uang dua puluhan ribu. Bara menerimanya dan dengan segera memberikan kembaliannya. Tampak gadis itu memandangi buku TTS miliknya. Bara langsung tanggap,”Dibawa saja Mbak bukunya..nggak pa-pa...”
Ah....seketika Bara semakin lemas. Tidak tahan dia memandang binar bahagia yang tertangkap oleh matanya. Rasanya ingin sekali dia mengecup mata cantik itu.
“Beneran nih, Mas...boleh dibawa…?”
Bara mengangguk sambil tersenyum. Berusaha keras dia untuk memberikan senyuman termanis, meski jantungnya sudah hendak copot.
“Wah makasih, ya...Hm, lain kali akan saya ganti…”
Bara belum sempat menjawab, gadis itu sudah berlalu., Bara hanya mampu memandang sendu. Ah, mengapa rasanya sebelah kakinya seperti ikut bersama gadis itu. Gadis cantik yang bahkan dia belum tahu siapa namanya. Rasanya timpang!
*****
Bara menatap jam dinding. Hatinya begitu resah. Senja belum juga datang. Akhirnya dia tahu juga nama gadis itu. Gadis itu sudah menjadi langganan tetapnya sekarang ini. Ditatapnya buku TTS yang masih baru, masih mulus. Buku itu pemberian Senja.
“Ini buku TTS yang aku janjikan..ini untuk mengganti buku Mas yang saya bawa tempo hari…” Begitu kata gadis itu kemarin lusa. Awalnya Bara menolak, tapi Senja memaksanya, akhirnya diterimanya juga sambil mengangguk dan tersenyum. Sengaja tidak dia isi kolom-kolom yang berbaris rapi di dalamnya. Dia begitu ingin menjaganya seperti benda keramat saja. Dibelainya pelan, kembali dia menatap jam dinding. Hatinya bukan hanya resah karena menunggu gadis pujaan. Tapi juga resah memikirkan permintaan ibunya yang hendak menjodohkan dirinya dengan seorang gadis. Bara tidak mungkin lagi bisa menyerahkan cintanya pada gadis lain selain Senja. Tapi Bara begitu menyayangi ibunya. Rasanya dia akan merasa berdosa bila tidak memenuhi keinginannya. Ibunya itu sudah sepuh. Tinggal dia satu-satunya anaknya yang belum menikah. Semua kakaknya sudah lama berkeluarga, sudah banyak memberikan ibunya cucu. Ah...Bara mendesah dalam hati.
”Melamun, Mas?”
Bara terlonjak. Ditatapnya sepasang mata bening yang sedang menatap ke arahnya. Dia mencoba tersenyum mengusir kegundahan hatinya. Bagaimana bisa melepaskan gadis cantik di depannya ini? Gadis yang sudah mencuri hatinya hingga habis tak bersisa apa-apa.
”Ada apa, sih? Kayanya murung sekali?” Tanya Senja sekali lagi. Bara cuma menggeleng pelan. Bagaimana bisa dia berterus terang. Mulutnya serasa terkunci.
Senja meraih buku TTS dari tangan Bara,”Daripada sedih, lebih baik isi TTS ini saja..”
”Eh, jangan..! Ini tidak boleh diisi siapa-siapa...ini adalah benda paling penting yang aku punya...aku saja tidak berniat mengisinya...” Sahutnya sambil kembali meraih buku TTS itu. Senja hanya bisa menatap bingung. Bara menyimpan buku TTS itu dibawah piring tempat dedaunan lalapan seperti biasa.
”Hm, kau akan pesan apa Nona?” Tanyanya sedikit nakal. Bara merasa sudah cukup mengenal gadis di depannya itu, sehingga mulai agak berani.
Senja tersenyum menggeleng pelan,”Aku tidak akan pesan apa-apa sebelum kau mau berbagi keresahan padaku...aku ini tidak bisa kau bohongi...aku tahu kau sedang resah...ada apa?”
Belum juga Bara sempat menjawab. Datang segerombolan pelanggan yang langsung membuat Bara sibuk. Memang tidak biasanya warung makannya ini di datangi pelanggan sore-sore begini. Biasanya warungnya ini ramai saat makan siang dan makan malam saja. Andai ada yang datang di selain waktu jam makan, biasanya tidaklah sebanyak ini. Senja menghela nafas, lalu keluar dari warung makan milik Bara. Bara hanya bisa menatap sendu.
*****
Bara kembali memandangi buku TTS di tangannya. Diraba dan dibelainya lembut, seolah dia tidak sedang membelai sebuah buku. Di sudut ruangan tampak ibunya yang duduk di kursi goyang. Menatap ke arahnya. Bara hanya bisa tertunduk.
”Kau harus lihat orangnya dulu, Bara...baru kau boleh menolaknya.”
Bara menghela nafas berat,”Ah, Ibu..ini sudah kesekian kalinya ibu menjodohkan saya...saya ini sudah punya pilihan sendiri, Bu..saya kan bukan anak kecil lagi...”
Ibunya tersenyum. Turun dari kursi goyangnya, menuju bufet yang terbuat dari kayu jati. Tampak mengeluarkan sesuatu. Bara hanya menghela nafas berat. Sudah tahu sekali dia kebiasaan ibunya itu. Sebuah foto. Pasti foto gadis yang akan dijodohkan padanya. Bara membuang pandangan ke arah TV yang sedang menyala. Menatap lawakan yang sudah tak terasa lucu lagi baginya.
”Kau lihat dulu, Bara...”
Bara menggeleng,”Tidak, Bu..saya mohon...saya benar-benar sudah memiliki pilihan hati saya sendiri...” Jawabnya sedikit memelas. Ibunya hanya tersenyum sambil meletakkan foto di meja. Bara tetap tidak bergeming. Dia tetap menatap TV yang sampai saat ini tidak juga mampu menghibur hatinya yang resah. Lewat ujung matanya dia melihat ibunya memasuki kamar. Sekali lagi dia membuang nafas panjang. Rasanya penat sekali rasa hatinya. Senja memang sangat dia cintai, tapi belum pernah sekalipun ia mengungkapkan perasaannya. Gadis itu tampaknya seperti memiliki perasaan yang sama. Kalau tidak, manalah mungkin dia kerap datang meski hanya mengisi TTS di meja makannya tanpa memesan ayam bakar kesukaannya. Beberapa hari terakhir ini gadis itu tampak murung. Setiap kali Bara menanyakan ada masalah apa gerangan yang meresahkannya, Senja selalu menjawab.
”Apa bedanya aku dan kau? Kau pun akhir-akhir ini terlihat murung. Dan tidak mau berbagi denganku...jadi sama saja, kan?”
Bara tidak mampu bicara lagi. Semua kata-katanya tertelan kembali. Ah, Senja...bagaimana bisa aku menumpahkan perasaanku...aku tidak mau kamu tahu kalau aku sudah dijodohkan oleh ibu...padahal aku begitu mencintaimu...bisik hatinya lirih.
Bara kembali menatap buku TTS di tangannya. Bosan juga dia menonton lawakan itu. Tanpa sengaja matanya tertumbuk pada foto di meja. Foto yang tadi diletakkan ibunya. Akhirnya diraihnya juga meski dengan enggan. Ditatapnya dengan jemu, seketika itu juga dia langsung lemas. Bergegas dia memasuki kamar ibunya.
*****
”Kau ini masih belum juga membuang kebiasaanmu melamun, Mas...”
Bara terlonjak. Tertawa malu, wajahnya bersemu merah. Istrinya mencubit pipinya gemas. Bara segera melepaskannya. Ditatapnya warung makannya. Sudah tutup. Ah, benar Senja..dia keasyikan melamun sampai tidak tahu kalau semua pegawainya telah pulang.
”Aku tidak menyangka kau masih menyimpan buku TTS lecek ini, Senja..” Ujarnya lembut.
Senja tersenyum,” Aku akan menyimpannya sampai kapanpun, Mas. Kalau bukan karena buku TTS lecek itu, aku tidak akan pernah tahu bagaimana caranya bisa menarik perhatianmu...saat bertemu denganmu sore itu, aku kebingungan mencari cara untuk sekedar menyapamu..tapi berkat buku lecek ini, akhirnya kita bisa berkenalan...”
Laki-laki itu berjalan menuju tempat tadi istrinya duduk melayani para pembeli yang membayar makanan. Senja hanya mengawasinya dengan heran. Dilihatnya suaminya itu kembali dengan buku TTS di tangannya. Dia tersenyum.
”Isilah..ini milikmu yang kau berikan padaku...dulu aku melarangmu karena itu satu-satunya pemberianmu, Senja...sekarang aku sudah memilikimu...jadi tidak membutuhkan buku itu lagi...”
Senja menerimanya, menatap buku dengan sendu. Bara mengernyitkan dahi,”Ada apa? Kok kau malah terlihat sedih?”
”Hm...kau keterlaluan...aku menunggu begitu lama saat ibumu memintaku untuk mendampingimu. Kau, jangankan mau bertemu denganku, melihat fotoku saja enggan...”
Bara tersenyum. Segera ia membimbing istrinya masuk, saat ini dia begitu ingin mencumbuinya. Bara memang merasa bersalah bila mengenang itu. Kalau saja sejak awal dia tidak keras kepala, kalau saja sejak awal dia mau sedikit lunak hati, sudah lama dia menikahi Senja. Gadis yang sejak pertama kali sudah mencuri hatinya. Gadis yang selalu mengisi TTS di meja makannya. Gadis yang selalu dia tunggu-tunggu kedatangannya di senja hari sesuai dengan namanya. Gadis yang selalu mampu membuatnya gemetaran bila bertemu. Gadis yang ah…Bara sudah tidak mampu lagi menerjemahkannya.