Erin menatapi satu per satu bocah-bocah kecil yang berlarian di taman bermain itu. Matanya sendu. Terdengar celoteh dan tawa riang yang harusnya bisa membuat matanya berpijar riang seperti biasanya. Tapi kali ini mata itu tetap saja sendu. Erin menarik nafas panjang berusaha mengusir seluruh gelisah yang merayapi hatinya. Lima tahun! Lima tahun hari ini tepatnya usia pernikahannya. Semuanya masih terasa seperti pengantin baru. Karena sampai lima tahun ini masih belum ada juga buah cinta yang sudah begitu dinantinya berdua dengan Sony suaminya.
Sekali lagi matanya menjelajah seluruh isi taman bermain yang begitu didominasi oleh anak-anak itu. Hatinya nyeri. Di depannya lewat sepasang suami istri yang mendorong sebuah kereta bayi. Diintipnya sekilas bayi mungil di dalamnya. Aih..bayi itu tampak begitu lucu. Ah, bayi perempuan memanglah selalu lucu dengan segala pernak-pernik yang dipasangkan oleh orang tua mereka. Sekali lagi Erin hanya bisa menatap kepergian suami istri itu dengan sendu. Kapan...kapan gilirannya menimang seorang bayi? Rasanya hatinya sudah begitu rindu akan sosok mungilnya. Dibuangnya tatapannya menatap mega biru. Tampak pelangi cantik menghias di sana. Sejenak dia merasa terhibur. Paduan warnanya yang memancar lembut seperti menciptakan dendang kedamaian dalam hatinya. Mengingatkannya pada Sang Pencipta. Sejenak dia teringat akan kata-kata suaminya.
”Sabarlah, Sayang...nanti pasti akan datang buah cinta kita...Tuhan itu Maha Baik...” Begitu selalu suaminya menghibur dirinya kalau dia sudah mulai menumpahkan kegundahannya. Biasanya dia cukup merasa terhibur bila teringat akan ucapan suaminya itu. Tapi kali ini sepertinya itu sudah tidak mempan lagi. Dirabanya perutnya, diremasnya pelan Ya Tuhan..apa aku mandul...? Bisik hatinya lirih. Matanya mengembun. Kembali dihirupnya udara sore itu dalam-dalam seolah berusaha mengenyahkan galau, tapi dia tetap saja galau. Erin berdiri, kemudian berlalu. Rasanya dia sudah tidak betah lagi berada di sana. Di taman bermain yang begitu didominasi oleh anak-anak.
*****
Ulang tahun pernikahan Erin dan Sony suaminya hari itu tidaklah berjalan seperti biasa. Kalau tahun-tahun sebelumnya mereka merayakannya dengan penuh romantis, kali ini meski sudah begitu indah pantai yang melatar belakangi suasana dinner mereka, sudah begitu cantik hamparan lilin yang menemani mereka menyuguhkan nuansa nan romantis, tetaplah terasa hambar. Hambar pasti untuk Erin. Dan Sony, melihat istrinya yang murung begitu rupa, hatinya pun tak bisa merasa bahagia. Padahal dia begitu ingin bahagia malam ini. Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahannya yang ke lima. Dan hari ini dia juga mendapatkan kenaikan jabatan sebagai manajer keuangan di perusahaannya. ”Kau murung sekali, Sayang...apa yang meresahkanmu?” Tanyanya lembut sambil menggenggam jari istrinya.
Erin melirik sekilas,”Kau pasti sudah tahu apa yang merisaukan aku, Mas...”
Sony menarik nafas panjang, matanya menyapu pantai yang tampak tenang. Lebih dikuatkannya genggamannya. Dia begitu ingin istrinya merasa nyaman. Dia tahu betul apa yang merisaukan istrinya itu. ”Kita kan sudah sering membahas masalah itu, Rin...kita bisa apa kalau Tuhan belum mengijinkannya?”
Erin menatap suaminya sendu,”Kita bisa mencari tahu apa penyebab sampai sekarang kita belum juga punya anak?”
Sony tersenyum, diletakkannya tangan Erin di pipinya,”Kita berdua baik-baik saja, Rin..Tuhan hanya belum memberi kita kepercayaan. Tapi percayalah, Tuhan pasti akan menjawab doa kita..pasti!”
Kali ini kata-kata penghiburan suaminya tidak mampu meredakan kegalauan Erin, matanya malah menggenang,”Aku mandul, Mas...lima tahun, aku sama sekali belum pernah hamil!”
Sony segera memeluk Erin, menciumi istrinya berkali-kali berusaha menenangkan belahan jiwanya itu,”Jangan, Rin..jangan berkata begitu..kau sehat..kau baik-baik saja..tenanglah dan sabarlah...” Erin menumpahkan air matanya di dada Sony sampai puas. Sony semakin mengeratkan pelukannya. Begitu inginnya dia melindungi istrinya dari kesedihan yang malam itu tampak begitu kuat menjajahnya. Sony sampai tak tahan. Hatinya ngilu.
Malam itu langit tampak senyap. Tak ada satu bintang pun berkerlip genit. Bahkan juga bulan. Semua tertutup awan kelabu.
*****
Erin menatap kartu nama di tangannya. Kartu nama seorang dokter spesialis obstetri gynecology yang cukup ternama. Dimainkannya kartu nama itu di sela-sela jemarinya yang lentik. Kartu itu dia dapatkan dari seorang teman. Temannya itu juga mempunyai masalah yang sama dengan Erin. Bahkan mereka sudah 10 tahun menikah, tapi belum juga memiliki momongan. Dan setelah mendatangi klinik kesuburan yang ditangani langsung oleh dokter itu, mereka sekarang malah mendapatkan sepasang anak kembar.
Erin memejamkan matanya, menarik nafas panjang. Sekilas ingatannya melayang. Dia sudah pernah menjejakkan kakinya di klinik kesuburan itu. Tapi hanya mampu sampai di depannya saja. Tidak mampu lagi dia melangkah karena rasa khawatir dan juga ketakutan akan kebenaran dari apa yang selama ini selalu menghantuinya. Dia takut mendengar kata-kata yang menyakitkan. Mandul! Ah, dia hanya akan begitu kuat kalau menjalaninya bersama suaminya. Tidak sendirian seperti waktu itu. Sekali lagi dia menarik nafas panjang, kali ini matanya menatap pada frame di meja kerjanya. Ada foto suaminya di situ, dirabanya pelan, pikirannya kembali mengembara. Dicobanya mencari cara untuk membujuk suaminya agar ikut bersamanya memeriksakan diri. Tapi sampai jam pulang kantor tiba, dia masih belum juga menemukan kata-kata yang tepat. Semuanya selalu mentah kembali bila dia membayangkan jawaban-jawaban yang akan terlontar dari mulut suaminya. Dia sudah begitu mengenal Sony. Tiga tahun mereka berpacaran, dua tahun bertunangan dan sekarang lima tahun menikah. 10 tahun sudah dia mengenal suaminya itu luar dalam.
Erin kembali menarik nafas panjang, masih buntu pikirannya. Dimasukkannya kartu nama itu ke dalam tasnya. Diliriknya jam di dinding sejenak, lalu ia segera bergegas pulang.
Dan di dalam mobil suaminya, Erin cuma bisu. Pandangannya tak bisa lepas dari jendela mobil. Entah apa yang dipandanginya, dia sendiri tak tahu. Matanya tampak layu. Sony melirik sekilas. Membuang nafas berat. Dia begitu ingin bicara, menghibur seperti biasa. tapi hati kecilnya seolah melarang. Sepertinya Erin saat ini lebih baik sendiri.
Bahkan sampai di depan garasi rumahnya, Erin tidak juga segera beranjak dari jok mobil suaminya. Sony keluar dan membukakan pintu untuk istrinya. Itu bukanlah kebiasaan Erin. Mungkin 10 tahun yang lalu saat mereka masih pacaran Sony memang selalu membukakan pintu bagi Erin, tapi sudah lama dia tidak melakukannya lagi karena Erin tidak pernah memberinya kesempatan. Istrinya itu sudah langsung membuka pintu mobil saat tiba sampai tujuan. Sony memandangi punggung istrinya yang memasuki rumah. Hatinya berasa tak nyaman..
”Kalian sedang bertengkar?!” Begitu pertanyaan yang terlontar dari mulut ibu Sony melihat anak dan menantunya saling diam di meja makan. Pertanyaan itu membuat keduanya tergagap.
”Ah tidak, Bu...” Jawab Sony melihat Erin gugup tak mampu menjawab.
“Kalian berdua ini menunggu apa lagi, sih? Ibu sudah begitu ingin menimang cucu! Kenapa kalian malah tenang-tenang saja?!”
Erin terlonjak. Pertanyaan itu sepertinya bukannya ditujukan pada Sony, melainkan kepada dirinya. Lima tahun..lima tahun dia belum pernah hamil hatinya begitu resah. Dan sekarang ibu mertuanya menanyakan itu. Rasanya dia ingin menangis.
”Son...coba kau bawa Erin periksa...siapa tahu ada masalah..kalau ada kan bisa segera dicari tahu obatnya...”
Erin tergugu. Kata-kata itu menampar hatinya. Matanya berair. Ya Tuhan..mengapa wanita yang sudah dia anggap ibunya sendiri itu berkata demikian menyakitkan?
”Ibu ini bicara apa? Erin itu sehat, Bu...kami berdua baik-baik saja...Tuhan yang masih belum mengijinkan...”
”Kalau istrimu itu pernah keguguran ibu masih bisa terima alasanmu itu, tapi Erin belum pernah hamil, Son! Kau harus segera mencari tahu!”
Erin tidak mampu lagi bertahan duduk di sana. Dia segera berlari menuju kamar, tanpa pamit pada suami dan ibu mertuanya. Hatinya begitu remuk tergerus oleh semua kata-kata menyakitkan yang terlontar dari mulut wanita separuh baya yang sudah dia anggap sebagai ibunya itu. Sayup-sayup dia mendengar Sony membelanya. Ah..suaminya itu memang baik hati. Dia tidak pernah menyalahkan ataupun memojokkannya. Dia selalu melindungi dirinya bahkan dari ibu kandungnya sendiri.
“Maafkan ibu ya, Rin..” Sony langsung memeluk Erin dan menciuminya berkali-kali. Erin masih menangis. Dia memang sedih, sakit hati, tapi dia tidak mampu membenci ibu mertuanya itu. Wanita itu, walau jarang ramah padanya, walau selalu saja manja layaknya anak kecil kepada anak satu-satunya itu, tetaplah seorang ibu yang dari rahimnyalah keluar laki-laki yang sekarang menjadi suaminya. Laki-laki lembut yang penyayang, kalau bukan ibu mertuanya yang sudah mendidiknya, suaminya pasti tidak akan sebegitu penyayangnya. Erin begitu mencintai Sony, begitu memujanya. Dan dalam hatinya selalu tak henti dia berterima kasih pada perempuan itu yang sudah melahirkan, membesarkan dan mendidik putranya dengan sangat baik.
”Sudah, Sayang....kau jangan menangis. Kata-kata ibu tadi jangan kau masukkan dalam hati, ya...”
Erin melepaskan pelukan, menatap getir,”Kali ini aku memohon padamu, Mas...ayo kita periksa...” Pintanya lirih.
Sekali lagi Erin harus berterima kasih pada ibu mertuanya itu. Karena kalau kejadian di meja makan tadi tidak terjadi, selamanya dia tidak akan pernah melihat anggukan tanda setuju dari suaminya. Erin langsung lega, meski tidak sepenuhnya.
*****
Erin memandangi Sony yang tampak murung. Erin memeluknya, menciuminya berkali-kali seperti yang dilakukan suaminya setiap kali dia bersedih. Erin mengerti bagaimana terpukulnya laki-laki itu, karena ternyata hasil pemeriksaan menunjukkan kalau suaminyalah yang tidak mampu memberikan benih yang mumpuni yang bisa membuahi rahimnya. Erin memang bisa berlega hati. Tapi kelegaannya itu hanya bisa dia simpan dan dia sembunyikan dalam lorong hatinya yang berkelok gelap. Dia tidak mau suaminya mengetahui kalau dia lega karena bukan pada dirinya kesalahan itu berasal. Erin tak mampu melihat suaminya yang kali ini tampak terpuruk. Juga ibu mertuanya yang sudah begitu ingin menimang cucu. Harapannya benar-benar sudah mati.
Sekali lagi Erin mengeratkan pelukan melihat suaminya menangis. Diciuminya lagi berkali-kali laki-laki itu. Erin begitu ingin suaminya bisa membagi kesedihan padanya dan bisa merasakan kalau dirinya pun ikut larut merasakan kepedihan batinnya.
”Mas...jangan menangis...kita kan sudah sepakat akan tetap saling menyayangi dan tidak akan saling menyalahkan...aku mencintaimu Mas Sony...sangat mencintaimu...”
”Tapi kau sudah begitu rindu ingin memiliki anak, Rin..dan untuk selamanya aku tidak akan mampu memberikannya padamu...”
Erin tersenyum,”Sekarang aku sudah tidak menginginkannya lagi, Sayang...sekarang aku begitu ingin menghabiskan waktu berdua saja denganmu...selamanya berdua..sampai aku mati...”
Sony tertegun. Dilepaskannya pelukan, ditatapnya lekat mata istrinya. Sony menemukan lukisan kejujuran disana. Matanya mengembun,”Sungguh, Rin? Apakah kau sungguh-sungguh dengan perkataanmu barusan...?”
Erin tersenyum sambil mengecup bibir Sony lembut,”Tentu saja...” Jawabnya pasti. Sony menggeleng-gelengkan kepalanya, matanya masih saja nampak sendu,”Lantas bagaimana dengan ibu …?” Tanyanya pelan bergetar.
Erin menarik nafas panjang, mencoba tersenyum sambil kembali memeluk dan membelai lembut,”Sabarlah, Mas..semuanya hanya soal waktu..aku yakin ibu pasti bisa menerima kenyataan…”
Tidak terdengar jawaban dari Sony, Erin semakin mengeratkan pelukannya, berharap suaminya bisa merasa aman.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar