Teguh menatapi sosok lemah yang terbaring tak berdaya di atas ranjangnya. Sudah sebulan ini sosok itu tampak semakin lemah saja. Meski sosok lemah itu selalu berusaha menyembunyikan apa yang dirasa oleh tubuhnya, selalu saja berusaha menyimpan semua derita yang sudah tiga tahun ini menjajahnya, tetap saja Teguh dapat ikut merasakan bagaimana sakitnya. Tampak senyum yang sudah tak bisa lagi ia terjemahkan. Senyum apa yang tergores pada bibir pucat itu. Rasanya dia sudah tidak ingin menatapnya lagi. Dia menjadi begitu merasa lebur bila menatap senyum itu. Senyum yang memerikan rasa sakit yang hebat. Teguh memejamkan matanya, membelai rambut tipis istrinya sambil kemudian mengecup keningnya.
”Tidurlah sayang...aku akan menggesekkan biola untukmu..” Bisiknya lirih. Teguh menatap sepasang mata sayu yang kini berbinar sedikit cerah. Diraihnya biola tua yang sudah puluhan tahun menemaninya. Digesekkannya pelan, menyuarakan bunyi yang menyayat. Tapi Teguh tahu, hanya dengan mendengar gesekan biola tua itu, istrinya bisa terhibur. Jari-jarinya dengan lincah menekan-nekan senar sementara tangan kanannya menggesek pelan. My Heart is Like a Violin adalah lagu kesukaan istrinya itu. Selalu itu yang diminta istrinya bila dia sudah memegang biola. Lagu itu memang membawa kenangan indah. Lagu itu yang dia mainkan untuk melamar wanita tiga puluh lima tahun yang lalu agar bersedia menjadi pendampingnya. Dan semakin hari, lagu itu sama sekali tidak terdengar membosankan bagi Gayatri istrinya yang hidupnya sudah tinggal menghitung hari. Kanker lambung yang dideritanya tiga tahun lebih yang sekarang sudah menyebar entah kemana maunya kanker itu, para dokter sudah tidak ada lagi yang mampu mengobatinya. Dan Teguh, hanya inilah yang bisa dilakukannya. Menggesekkan biola bagi istri tercinta berharap meringankan sakitnya, meski Teguh tahu, sakit itu tidak akan bisa berkurang hanya dengan mendengar permainan biolanya.
“Jangan pernah lelah bermain untukku, Mas….aku merasa damai…” Begitu kata-kata istrinya yang membuatnya selalu ingin menggesek benda tua itu. Meski bosan sudah sejak lama mendekap erat dirinya, dia tidak mampu berhenti sebelum istrinya menyuruhnya berhenti. Teguh memainkannya mengiringi istrinya sampai dia terlelap.
*****
Teguh terpana. Sudah lama sekali dia tidak melihat istrinya secantik sekarang. Bukan hanya cantik, tapi muda dan sehat. Dia melihat istrinya itu menari di pinggir sebuah danau nan indah. Dan Teguh tidak mampu untuk tidak memainkan biola tua miliknya. Dengan iringan biola tua itu, Teguh mengiringinya menari. Sinar bulan purnama begitu benderang sehingga bayangan yang tercipta di rerumputan tampak indah. Bayangan Gayatri istrinya yang menari gembira.
Tapi tidak bisa lama Teguh memainkannya. Karena tiba-tiba dia tersadar. Ah, ternyata itu hanya mimpi. Teguh menatap istrinya sendu. Andai saja mimpinya itu benar-benar nyata, rasanya dia begitu lega dada karena nampak sekali istrinya itu begitu lepas dan tidak lagi merasa sakit. Teguh tersentak melihat mata istrinya terbuka. Ah, mata itu tampak begitu letih dan redup.
”Kau ingin minum, Dik?” Tawarnya lembut. Gayatri tampak menggeleng, tersenyum. Teguh membelai lembut.
“Aku baru bermimpi…” Bisik istrinya pelan. Teguh mendengarkan dengan sungguh-sungguh,”Mimpi apa?”
“Mimpi menari di sebuah danau…dan kau bermain biola….”
Teguh terlonjak. Mimpi yang sama! Bagaimana bisa istrinya itu bermimpi yang sama dengan dirinya? Tapi tidak sempat dia terbengong berlama-lama, karena istrinya tiba-tiba saja meminta sesuatu yang tidak biasa.
”Mas...aku ingin kau hubungi anak-anak..aku kangen mereka..aku ingin mereka di sini...”
Teguh menarik nafas panjang. Tuhan..apakah sudah dekat waktunya? Apakah sudah tidak lama lagi dia berada di sisiku? Apakah aku mampu berpisah darinya...? Teguh tidak mampu menjawabnya. Kepalanya hanya terangguk pelan.
”Besok aku akan hubungi mereka...”
Gayatri menggeleng,”Sekarang...” Pintanya lirih. Teguh dengan berat bangkit dari tempat tidurnya dan mulai menghubungi ketiga anaknya. Hatinya terasa pedih, tapi dia tak berdaya.
*****
Hari ini entah mengapa Teguh malas sekali masuk ke dalam kamar istrinya. Rasanya dia ingin memberikan kesempatan pada ketiga anak dan menantunya untuk dekat dengan ibu mereka. Mereka jarang berkumpul seperti ini karena semuanya tinggal di kota yang berbeda. Tadi sekilas dia mengintip, tampak istri bersama ketiga anak dan menantunya berbicara hangat. Teguh tidak ingin mengganggu, dia memilih sibuk membersihkan biola, memetik senar sekedar memastikan suara nada yang pas. Ada satu nada yang sedari tadi terdengar sumbang di telinganya. Berkali-kali dicobanya memutar-mutar pada ujung biolanya, tetap saja berasa sumbang, membuatnya gemas. Tidak biasanya senar satu ini begini nakal. Sekali lagi didengarkannya dengan seksama.
“Pak…Bapak kok tidak masuk? Ibu ingin di dekat bapak..”
Teguh terlonjak. Menoleh menatap putera sulungnya. Ah, Teguh begitu bangga pada puteranya itu. Puteranya itu seorang perwira TNI-AD berpangkat kapten. Puteranya itu yang melanjutkan cita-citanya yang tidak terwujud. Tapi tidak! Teguh tidak hanya bangga pada putera sulungnya itu, tapi pada ketiga puteranya. Puteranya yang kedua seorang Jaksa muda seperti dirinya yang telah lama pensiun, sedangkan putera ketiganya seorang arsitek.
Ah...tiba-tiba saja dia merasa pedih. Kalau Gayatri istrinya itu nanti pergi, akan bagaimanakah dirinya? Untuk apalagi dirinya ada di dunia ini? Tugasnya sebagai orang tua sudah dia jalani dengan begitu sempurna berdua dengan istrinya. Dan dia tahu, dia dilahirkan memang untuk bertemu wanita itu. Wanita yang sebentar lagi akan meninggalkan dirinya. Teguh merasa sepi meski dia belum ditinggal mati.
”Pak...kok malah melamun..ayo, masuk...”
Teguh kembali terlonjak. Dia mencoba tersenyum meski saat ini dia begitu tak ingin tersenyum.
”Kau temani saja ibumu...kau kan jarang pulang...kalau bapak setiap hari selalu dilihatnya...dia pasti sudah bosan...” Begitu jawabnya sambil kembali menyibukkan diri.
Putera sulungnya pun akhirnya masuk kembali. Tapi tidak lama putera keduanya juga putera ketiganya memintanya masuk ke kamar. Teguh masih memberinya jawaban yang sama. Setelah itu dia kembali sibuk meneruskan menyesuaikan nada yang masih saja terdengar sumbang.
Ah, dia harus segera membenarkan nada sumbang itu. Kalau-kalau mendadak istrinya itu minta dimainkan biola, bagaimana bila salah satu nadanya sumbang? Teguh terus mencoba dengan serius.
”Pak..ibu menangis...”
Teguh terlonjak. Menoleh. Tampak ketiga menantunya berdiri di mulut kamar. Dan tiba-tiba saja nada sumbang itu sekarang tidak lagi terdengar sumbang. Teguh segera masuk sambil menenteng biola tuanya. Hatinya berasa tak enak. Istrinya itu bukanlah wanita cengeng. Saat berpisah dengan ketiga anaknya dia tidak menangis, bahkan saat sakit begitu hebat menggerus tubuhnya, dia sama sekali tidak pernah menitikkan air matanya. Dan sekarang menantunya mengatakan kalau istrinya menangis? Rasanya dia menjadi galau.
Ditepiskannya tirai yang menutup pintu kamar. Dilihatnya istrinya sedang terbaring, menatap ke arahnya dengan uraian air mata. Teguh segera mendekat, duduk di bibir tempat tidur, membelai lembut.
“Ada apa, Dik? Mengapa kau menangis? Bukankah semua anak dan menantumu sudah menemanimu..kau sudah begitu rindu pada mereka, kan?”
Gayatri menggeleng pelan,” Itu benar..tapi aku juga merindukanmu...kenapa menolak menemaniku?”
Teguh tersenyum,”Aku sedang membersihkan biola...”
Ah Gayatri…mengapa engkau menjadi manja begini….tanya hatinya heran. Tapi dia juga merasa tersanjung.
Dan keheranannya itu akhirnya terjawab karena tiba-tiba saja istrinya itu tampak kesakitan. Meski semua anaknya sudah hendak membawanya ke rumah sakit. Wanita itu terus saja menggeleng lemah.
”Mainkan saja biolamu Mas...hanya itu obatnya...” Pintanya lirih membuat semua anak dan juga menantunya tidak mampu membantah. Teguh mengangguk dan segera memainkan lagu kesukaan istrinya itu. Tapi kali ini entah mengapa dadanya terasa nyeri. Selama memainkan biola tua itu, matanya selalu berkabut padahal dia begitu ingin memandang istrinya. Dikerjab-kerjabkannya matanya, berusaha menjernihkan pandangan. Tampak olehnya istrinya itu tersenyum sambil menatap ke arahnya. Teguh tahu, pastinya sakit sekali yang dirasakan istrinya itu. Tapi seperti biasa Gayatri berusaha menyembunyikannya. Dia tahu betul istrinya selalu berusaha membuat dirinya tidak khawatir. Ah Tuhan...aku mohon...sirnakan segala kesakitannya. Buang jauh-jauh dari tubuh ringkihnya..aku tak tahan Tuhan..tak tahan....
Teguh tetap menggesek biolanya meski rasanya dia sudah begitu ingin memeluk istrinya, membenamkannya dalam pelukan sekedar ikut berbagi penderitaan.
Teguh semakin merasa nyeri, hatinya remuk. Mata itu, mengapa mata itu semakin meredup, Tuhan...kemana gerangan perginya binar ceria yang selalu terpancar meski dia merasa sakit. Mengapa...mengapa bertambah redup binar itu...mengapa...? Teguh terus menggesek biolanya, kali ini dia memejamkan matanya dan mulai menangis. Anak pertamanya menutup mata redup milik sang ibu yang telah kosong. Teguh, kalau bukan anaknya yang menyuruhnya berhenti bermain biola dia tidak akan berhenti. Dan sekarang dia terduduk di lantai, memeluk biola tuanya sambil menangis. Menangisi jasad istrinya yang beku. Gayatri…dia telah pergi….
*****
Teguh memandangi biola tua yang sedari tadi didekapnya. Biola itu begitu memiliki kenangan yang sangat indah. Biola itulah yang membuat Gayatri jatuh cinta padanya, dan selalu berkata kalau dia tidak akan pernah bisa bosan memandang dirinya bila memainkannya. Dan Gayatri menepati janjinya. Dia terus memandang suaminya yang bermain biola hingga di ujung waktunya. Teguh memandangi wajah istrinya yang tampak seperti terlelap di dalam petinya.
Diletakkannya biola itu di dalam peti itu. Teguh merasa hanya itulah yang bisa menggantikan dirinya menemani wanita terkasih. Biola itu begitu disayanginya. Dan biola itu satu-satunya obat penghilang rasa sakitnya, biarlah biola itu ikut dengannya, Teguh merelakannya. Semoga saja biola itu bisa menggantikan dirinya melindungi istrinya yang sudah terbebas dari segala penderitaan.
Saat peti mati di masukkan ke liang lahat. Teguh melemparkan mawar putih ke dalamnya. Mawar putih tanda cinta. Teguh akan tetap mencintai Gayatri meski dia telah pergi. Dia akan menunggu. Menunggu jemputan yang sudah begitu dinantikannya. Semoga saja tidak lama lagi. Karena semua tugasnya sudah selesai. Sudah tidak ada lagi alasan dirinya berada di sini.
*****
Di mana ini? Sebuah danau indah terbentang sempurna begitu tenang dan damai. Tampak cahaya bulan purnama di dalam danau itu seperti sedang bercermin saja. Teguh ingat danau ini, dia pernah berada disini. Ditatapnya sesosok tubuh yang begitu dikenalnya. Sosok tubuh yang menari dengan riang. Sosok Gayatri istrinya. Lalu dia menatap tangannya. Entah darimana asalnya mengapa biola sudah berada di genggamannya? Padahal biola itu sudah menemani istrinya kemarin?
Teguh sudah malas memikirkannya. Dia sudah begitu rindu pada istrinya itu. Padahal baru sehari ditinggal olehnya rasanya dia sudah begitu merasa sepi dan rindu. Bukan hanya rindu pada wanita terkasih, tapi juga pada si biola tua. Tidak pernah dia berlama-lama berpisah dengan keduanya.
Dan sekarang mereka begitu dekat, Teguh segera memainkan melodi indah guna mengiringi tarian gemulai milik istrinya. Teguh begitu merasa damai. Akhirnya, akhirnya mereka bersama lagi. Bersama untuk selamanya bertiga dengan si biola cinta.
*****
BIODATA
MADITA NUGROHO, Cerpenis
(021-8440169 / 08128054180)