Hingar bingar suara musik di klab malam mengorek telinga. Banyak orang melantai seolah melepas penat. Jo menatap nanar. Ditenggaknya wine yang sudah hampir habis. Dibuangnya tatapan kembali pada orang-orang yang asyik melantai. Ditariknya nafas dalam berusaha mengenyahkan sedih.
Tidak perlu waktu lama dia sudah mampu menemukan sosok yang selama ini dekat dengannya, tapi tak mampu diraihnya. Ditatapnya sendu sosok itu. May. Dia bukanlah wanita baik-baik. Dia pelacur yang sudah menghabiskan hidupnya sejak masih mengenyam indahnya bangku sekolah. Bukan untuk mencari uang sebagai pemenuhan kebutuhan sekolahnya, melainkan hanya untuk bersenang-senang. Awalnya. Dan ternyata memang bersenang-senang sampai dia tak mampu berhenti. Dipuja, diperebutkan, diraih, dan ditiduri oleh begitu banyak pria membuatnya begitu merasa sempurna.
Sekali lagi Jo menarik nafas panjang. Ditatapnya masih dengan sendu wanita yang kini sedang berduaan di pojok sebuah ruangan yang tampak lebih remang dari tempatnya duduk sekarang ini. Tapi Jo masih bisa menatap indahnya tawa yang tersaji dari bibir May yang entah sudah berapa kali pula dia mencicipi kedahsyatannya. May! Dia memang seorang pelacur. Memang itulah pekerjaannya. Memuaskan semua pria yang datang padanya. Jo sudah tahu itu tapi tetap saja masih belum bisa menahan kobaran cemburu meski sudah berusaha membunuhnya. Semakin dibunuh, semakin rasa itu seolah mencekik lehernya. Dibayarnya minuman yang sudah diminumnya, lalu kakinya beranjak mendekati sosok yang sejak tadi sudah membuatnya putus asa. Putus asa karena tak akan pernah mampu memilikinya secara utuh.
”May!” Panggilnya lirih.
May yang sedang bermesraan dengan seorang pria yang entah siapa pria itu Jo tidak perduli, menoleh, menatapnya heran. Kembali Jo merasa begitu habis terlumat oleh rasa marah dan sedih melihat May yang meminta diri dengan sangat sopan pada laki-laki itu, sambil tak lupa mengecup bibirnya nakal.
“Ada apa sih, Jo? Kau tidak lihat aku sedang ada tamu!” Tanya wanita itu sedikit gusar.
Jo menatap pedih. Diraihnya pinggang wanita itu,”Ikutlah denganku, May!”
May tersenyum,”Hm...kau akan bayar aku berapa?” tanyanya nakal.
Jo terbelalak,”May!” Jo merasa begitu sakit. May tidak pernah bertanya seperti itu padanya. Wanita itu tidak pernah meminta apapun darinya, karena Jo tahu hanya bersama dirinya May bahagia. Tapi mengapa May malah bertanya demikian menyakitkan?
May tersenyum manis, mengerling genit,”Beib, aku cuma bercanda...Hm, nanti ya...nanti aku pasti ada waktu untukmu, oke...sekarang aku mau bersenang-senang…jangan mengganggu lagi, ya…” Bisiknya nakal sambil beranjak kembali kepada laki-laki yang tampaknya sudah mulai gusar. Dan May! Dia tahu betul apa yang harus dilakukannya untuk menenangkan pelanggannya supaya semua berjalan baik-baik saja. Jo segera pergi meninggalkan tempat itu. Dia sudah tidak betah lagi berlama-lama memandangi May yang tampak begitu menikmati permainannya. Jo ingin berlari sejauh mungkin. Sejauh mungkin dan tak ingin kembali. May! May nya selalu saja tidak pernah mengerti akan dirinya. Selalu senang bermain-main sampai tidak pernah puas, sampai tidak pernah bisa berhenti. Hatinya remuk.
*****
Jo terpekur menatap kosong pada laptop yang masih menyala di depannya. Setumpuk berkas yang tadi diserahkan sekeretarisnya untuk ditandatanganinya masih tergeletak rapi tak tersentuh. Dibukanya sekilas dengan ujung jarinya, lalu ia menghela nafas panjang.
”Pak..ada nona May...apa bapak ada waktu?” Tiba-tiba terdengar suara Stella di intercomnya. Jo tersentak sedikit, membuang nafas jemu. Sebenarnya dia enggan bertemu dengan wanita cantik itu, tapi selalu saja tidak berdaya.
Tiba-tiba pintunya terbuka. Sudah muncul wanita cantik yang selalu membuatnya terluka, tapi juga selalu mampu memaafkannya.
“Sori, Say aku langsung masuk…apa kabar? Semalam aku tunggu kok nggak datang…marah ya sama aku?” Tanyanya ringan. Sama ringannya dengan langkah dan juga gayanya yang sekarang dengan santai mendudukkan dirinya pada pangkuan Jo. Jo sudah tidak mampu marah lagi. Wanita ini terlalu berpengalaman untuknya. Selalu saja mampu membuatnya goyah dan tidak berdaya. Wanita inilah yang mampu membuatnya mengambil keputusan yang begitu membuat marah keluarga besarnya. Membuatnya meninggalkan sekeping hati yang begitu sempurna mencintainya tanpa cacat. Indy. Entah dimana perempuan itu, setelah Jo memutuskan untuk membatalkan pernikahannya, dia tidak pernah lagi bertemu dengannya. Jo, hatinya begitu dirajam perasaan berdosa bila mengenangnya. Indy. Gadis itu begitu baik, cantik, lembut. Sempurna!
”Hai, Sayang...kau ini kenapa mendiamkan aku begini...masih marah..Hm?” sekali lagi May menggoda Jo, kali ini tidak hanya dengan ucapan, tapi tangannya sudah mulai menjelajah. Jo tersenyum,”Hm..tidak..aku tidak marah...aku kan tidak pernah bisa marah padamu, bukan begitu?”
May tertawa. Menang! Jo menikmatinya, meski ada sebentuk perasaan pedih yang menyelinap cepat bertengger di lorong hatinya yang tersembunyi. Ah, mengapa selalu saja goyah bila berhadapan dengannya? Ada apanya di tubuh wanita penggoda ini? Bisik hatinya.
Dan Jo memang sudah tidak mampu marah lagi. Dengan cepat dia meminta sekretarisnya untuk menolak semua tamu yang datang, karena dia sudah begitu sibuk dengan tamunya yang satu ini. Dan hanya dinding bisu ruang kerjanya yang menjadi saksi semua perbuatan mereka, yang pastinya bukan untuk pertama kalinya.
*****
Jo terhenyak! Jantungnya serasa lompat dari dadanya menatap wanita yang baru saja ditabraknya tanpa sengaja. Dia begitu terburu-buru ingin bertemu dengan May sampai tidak terlalu memperhatikan jalan. Dari arah kiri tiba-tiba saja sebuah motor lewat, dia sudah berusaha menginjak rem, tapi entah mengapa mobilnya terlambat untuk berhenti. Jo segera keluar dari mobil, segera menolong orang yang ditabraknya itu. Untung saja tidak parah, hanya motornya yang tampak sedikit lecet.
”Maafkan saya...sungguh, saya tidak sengaja.” Jo benar-benar meminta maaf. Gadis itu membuka helm dan kaca mata hitamnya, saat itulah Jo langsung lemas. Itu Indy! Ya, Tuhan..akhirnya dia bertemu lagi dengan wanita ini dan hampir saja mencelakainya...?
”Aku tidak apa-apa..” Jawabnya pelan, gugup.
Jo terkaget sampai tidak mampu bicara. Bahkan hanya untuk menyebut nama gadis itu saja dia tak mampu. Apakah ini yang namanya termakan habis oleh rasa bersalah? Jo tidak mengerti. Meski dia mampu membantu wanita itu berdiri dan menegakkan kembali motornya, tetap saja dia bisu. Dia mulai tidak mampu lagi untuk bisu ketika tahu kalau lutut Indy ternyata berdarah.
”Aku akan mengantarmu ke rumah sakit...lukamu harus diobati...” begitu katanya. Seraut wajah khawatir tersaji di parasnya. Indy hanya tersenyum sambil menggeleng pelan,”Tidak usah..aku bisa sendiri”
”Tapi...”
Indy tetap menggeleng sambil kembali mengenakan helm dan mulai menyalakan mesinnya. Motor itu berlalu meninggalkan Jo yang masih terpekur sendu. Ah, Indy...entah apa namanya yang tiba-tiba bergetar pada dinding hatinya. Wanita itu masih cantik seperti dulu. Cantik seperti saat dia mengenalnya pertama kali. Dengan langkah gontai Jo kembali menuju mobilnya. Sekarang dia sudah tidak buru-buru seperti tadi. Kalau kali ini dia terlambat menemui May yang pastinya sudah sibuk dengan para pelanggan yang sudah begitu menantikannya, dia pasrah. Kenangannya terlempar ke masa lalu. Indy! Mereka bertemu pertama kali di Bali. Kala itu, Jo bersama keluarga besarnya sedang menikmati liburan di sana. Indy lah yang menjadi pemandu wisatanya. Awalnya Jo masih belum terlalu terpikat, tapi kemudian dia tidak mampu untuk tidak jatuh cinta pada gadis itu saat Indy dengan sigapnya menolong Neneknya yang tiba-tiba saja mendapat serangan jantung. Jo sama sekali tidak mengira kalau gadis cantik yang tampak biasa-biasa saja sebagai seorang pemandu wisata itu ternyata adalah seorang dokter. Jo terkagum sampai akhirnya tidak mampu lagi menahan nyanyian cinta yang tiba-tiba berdendang nyaring dalam hatinya. Dan betapa beruntungnya Jo, kala gayung pun bersambut. Tidak membutuhkan waktu lama mereka untuk saling mengenal, semua berjalan begitu cepat. Rasanya sudah begitu tak sabar ingin segera mengikatkan diri pada sebuah tali pernikahan. Hanya saja semuanya jadi berantakan saat dia mengenal May. May datang dengan begitu tak terduga, dia datang untuk melayani seorang tamu penting Jo dari Tokyo. Tapi malam itu, May bukannya tidur dengan tamu penting itu, dia malah tidur bersama Jo.
Ah, Indy..maafkan aku…bisik hatinya lirih. Dia tidak akan pernah lupa bagaimana gadis itu menangis saat dia membatalkan pernikahan. Saat itu dia melihat Indy sudah begitu anggun dengan gaun pengantinnya. Dan dia, dengan tanpa merasa bersalah mengakhiri semuanya.
Jo memasuki pelataran parkir klab dan memarkir rapi mobilnya. Belum ada keinginannya untuk keluar dari mobil. Matanya memanas. Hatinya tiba-tiba saja menjadi begitu pedih. Kenapa..kenapa dia tega melakukannya? Melakukan semuanya itu pada gadis sebaik Indy? Harusnya pertanyaan itu sudah mampu dia jawab setahun yang lalu. Tapi sekarang dia malah merasa malu dan sakit? Apa gunanya lagi kini?
Dengan enggan Jo keluar dan berjalan menuju ke klab malam itu. Belum terlalu ramai. Malam memang lah belum begitu larut. Didudukkannya tubuhnya di tempat biasa dia duduk, dan memesan segelas bir.
”Kau terlambat, Jo...” Suara May mengagetkannya. Jo tersentak, menoleh, menatap sendu. May! Wanita yang sama sekali tidak punya kelebihan apa-apa selain kehebatannya dalam segala macam urusan seks ini yang membuatnya mampu menghancurkan hati seorang gadis yang begitu sempurna. Indy sama sekali tak tersaingi apalagi bila disandingkan dengan wanita sekelas May yang cuma bisa dijadikan sebagai selingan! Betapa bodoh dan butanya ia selama ini!
”Sayang..ada apa denganmu? Mengapa kali ini kau tampak begini sedih? Hm...aku rindu padamu, Jo..setiap hari selalu merindukanmu...ayolah..kau jangan sedih begitu...” Goda May sambil seperti biasa tangannya menjelajah tubuh Jo.
Tapi entah mengapa Jo tidak lagi berminat. Malahan muak. Dilepaskannya tangan May dengan kasar, matanya menatap tajam.
”Cukup, May! Cukup sampai di sini! Ini terakhir kalinya aku ke sini, jangan pernah mencariku lagi! Karena aku tidak akan kembali!” Tegas tak terbantah kata-kata Jo membuat May meradang,”Aku tidak pernah mencarimu! Kau yang selalu datang!” May tersenyum sinis menyakitkan.
Jo segera mengeluarkan uang, membayar minuman yang belum juga diteguknya, bergegas ia keluar tanpa bicara apa-apa lagi. Kali ini dia benar-benar tidak perduli. Bahkan kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulut May sama sekali tidak berasa menyakitkan. Dia tahu May bicara begitu hanya untuk menahannya. Kalau May memang tidak pernah mencarinya, lantas mengapa juga dia kerap datang di siang hari ke kantornya. May bisa menanyakan langsung pada dinding kantornya itu seandainya saja mereka tidak bisu.
*****
Jo duduk di dalam bis wisata yang mengangkutnya menuju Kuta Bali. Berusaha keras dia mencari jejak Indy, akhirnya ditemukannya juga gadis itu. Masih seperti dulu. Indy masih seperti satu setengah tahun yang lalu. Saat ini dia sedang memandanginya. Memandangi sosoknya yang lembut dengan senyum manis yang terkembang indah menerangkan segala seluk-beluk Bali yang sudah dia ingat di luar kepalanya.
”Aku begitu cinta pada pulau ini..makanya kalau sedang senggang aku menjadi guide di sini....rasanya menyenangkan.” Begitu dulu jawaban Indy saat Jo menanyakan mengapa seorang dokter seperti dirinya menjadi seorang guide. Dan saat mereka bertemu pandang, entah untuk ke berapa kalinya dia bertemu pandang dengan gadis itu, dia bisa merasakan dalamnya goresan perih yang begitu menyayat tertangkap hatinya. Jo tahu betul pedih macam apa yang dirasakan gadis itu.
Tapi kali ini Jo sudah bertekad, bagaimana pun caranya, walaupun dia harus bersujud di kaki gadis itu pun akan dia jalani asalkan bisa mendapatkan maafnya. Jo tidak main-main. Dia sudah bertekad, bertekad untuk kembali.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar