Selasa, 14 September 2010

AKHIRNYA CINTA ITU DATANG JUGA

                                          

   Riri tetap sibuk mengganti cairan infus, memeriksa tetesannya dan memperhatikan keadaan infus itu pada lengan seorang pasien, meski lewat ujung matanya dia melihat suaminya yang sudah dia hafal betul seperti apa pandangannya. Riri gemas sekali. Ryan suaminya itu seorang dokter, tapi kenapa pencemburu sekali. Bahkan pada pasiennya sendiri. Uh! Kalau suaminya itu bukan seorang dokter, dia tidak akan segemas ini. Dia akan mencoba mengerti, tapi ini? Bukankah sudah hal yang biasa sekali memegang lengan pasien, memeriksa dengan teliti, dengan penuh perhatian, karena mereka bukannya menghadapi benda mati layaknya buku dan kertas-kertas seperti pekerja kantoran. Mereka ini melayani manusia yang tidak bisa seenaknya memperlakukan karena mereka punya jiwa. Masa Ryan tidak mengerti? Kemana perginya akal sehat suaminya itu!
   ”Sudah, Ri...kau urus saja catatan perawatan di buku. Sudah..itu Dokter Ryan sudah seperti akan melahapmu...” Dian teman sejawatnya segera membimbing Riri menuju nurse station.
   ”Biarkan saja. Dia sendiri kan dokter. Dokter kandungan lagi.” jawabnya santai. Dia benar-benar tidak akan memperdulikan lagi kecemburuan suaminya yang sekarang sudah tidak terlihat batang hidungnya. Di rumah pasti mereka akan bertengkar lagi. Uh, penat sekali rasa hatinya. Baru juga sebulan dia menikahi laki-laki itu, harusnya pernikahannya ini masih hangat-hangatnya karena mereka masihlah pengantin baru. Tapi rasanya Riri sudah ingin berpisah saja darinya. Dulu Ryan tidak pernah seperti itu. Ah, dia tahu sekali Ryan..mereka bersahabat sejak masih kecil. Tidak hanya berdua, tapi bertiga dengan Rico. Ah, kalau mengenang Rico dia merasa pedih. Rico, sejak kecil dia selalu memimpikan menjadi mempelainya, mereka sering dijodoh-jodohkan menjadi sepasang pengantin kala bermain bersama kawan-kawan sebaya dulu. Sementara Ryan bertindak selaku juru nikahnya. Dan impian itu sudah terwujud. Riri memang menikah dengan Rico. Bahagia pasti. Impiannya terwujud. Memiliki laki-laki sesempurna Rico membuatnya menjadi wanita paling bahagia seantero jagad ini. Rico, seorang polisi yang begitu pemberani, selalu berusaha melindunginya dari apapun. Selalu mampu mencintainya, memperhatikannya sampai pada hal terkecil sekalipun, meski kesibukannya begitu tak ada habisnya. Dan keberanian yang selalu dibangga-banggakan oleh Riri itulah yang membuat suami tercinta itu mati saat melaksanakan tugasnya. Dan sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, laki-laki itu menitipkannya pada sahabatnya. Memintanya untuk menikahinya, karena dia hanya akan bisa pergi dengan tenang bila Ryan yang menjadi pelindungnya. Waktu itu Riri hanya bisa menangis. Sementara Ryan mengangguk berusaha memenuhi permintaan Rico. Dan sekarang? Ah! Baru juga sebulan usia pernikahannya, setiap hari hanya berisi salah paham dan cemburu. Dia tidak mengerti. Di mana letak kesalahan semua ini?
   Riri tahu betul Ryan itu bukan tipe pencemburu. Dia itu petualang cinta sejati. Dia itu play boy yang sudah berderet-deret wanita patah hati dibuatnya. Pindah dari satu pelukan wanita, ke pelukan wanita yang lain. Mengapa sekarang menjadi begitu posesif? Riri benar-benar habis sabar. Sedikit-sedikit Ryan sudah menuduhnya sok dekat dengan Irwan, salah seorang dokter muda di sana, atau menuduhnya sok perhatian pada pasien pria yang dirawatnya. Uh, benar-benar menyebalkan.


*****

   “Kalau begitu aku keluar saja dari rumah sakit itu!” Ancam Riri pada suaminya. Benar-benar pengap rasa hatinya dituduh macam-macam.
   “Kau tidak boleh keluar! Justru aku bisa semakin gila kalau kau jauh dariku Ri!”
   ”Kau memang sudah gila, Yan! Kau harus menemui Prof. Hanggoro untuk berkonsultasi padanya! Aku muak dengan semua ini!” Jawabnya sengit sambil menenteng tasnya.
   ”Kau mau kemana?”
   ”Mau ke rumah ibu! Cuma ibu yang bisa mengerti!”
   ”Pergilah!!” Jawab Ryan tak kalah sengit. Riri tidak menunggu lagi. Segera dilangkahkannya kakinya keluar, memberhentikan taksi yang lewat, lalu masuk ke dalamnya. Ryan mengawasinya dengan sendu dari jendela depan rumahnya.   Dihempaskan dirinya ke sofa. Matanya menatap nanar foto pengantin yang terpajang di tembok. Menikahi Riri adalah impiannya. Sejak kecil dia selau memimpikannya. Tapi dia tidak pernah bisa mendapatkanya karena wanita itu begitu mencintai Rico dan hanya menganggapnya sebagai kakak, tidak lebih. Kalau dia mengembara mencari cinta pada semua wanita yang pernah menjadi pelabuhan hatinya meski tak lama, dia hanya sedang berusaha mencari sosok pengganti yang sama dengan Riri, yang tak pernah ditemukannya. Rasanya memang benar Riri…dia harus berkonsultasi pada Prof. Hanggoro. Dia benar-benar sudah gila! Harusnya dia bisa tenang karena sudah bisa mendapatkan wanita impiannya. Tapi mengapa dia begitu ketakutan kehilangan satu-satunya wanita yang paling dicintainya itu. Wanita yang dicintai bahkan melebihi ibunya sendiri? Mengapa dia begitu posesif begini? Ryan sendiri tak tahu jawabnya.


*****


   Riri memandang akuarium di rumah Ibu Ryan dengan sendu. Menatap ikan arwana yang dengan angkuhnya mondar-mandir memamerkan kemolekan tubuhnya. Ibu Ryan sudah bercerita banyak mengenai dirinya. Mengenai semua perasaannya. Ternyata laki-laki itu sudah sejak lama memendam cinta padanya. Kalau dia begitu posesif sekarang ini, dia memang benar-benar tidak mau kehilangan dirinya lagi. Ah, apa yang harus dilakukannya? Riri tidak pernah tahu kalau Ryan mencintainya sedalam itu. Selama ini yang dia tahu Ryan seorang play boy yang tidak pernah bisa puas hanya dengan satu perempuan. Ternyata dia mencari sosoknya pada diri perempuan-perempuan itu? Ah, Ryan….
   Riri terlonjak melihat pintu ruang tamu terbuka. Ryan yang datang. Dia kembali membuang tatapannya ke akuarium. Meski jemu memandangi si arwana angkuh itu, tapi rasanya lebih baik daripada memandangi wajah Ryan yang tampak kusut.
   ”Ibu mana?”
   ”Sudah tidur”
   ”Ayo pulang.”
   ”Hhhh…” Riri menghempaskan tubuhnya di sofa terlentang. Matanya menatap langit-langit ruangan itu. Kosong. Ryan menahan nafas, mendekat dan berlutut di samping sofa,”Maafkan aku Ri...” Pintanya pelan. Riri menoleh. Ryan mengucapkannya begitu sungguh-sungguh. Tapi entah mengapa dia masih belum bisa mempercayainya. Sudah sering sekali kata maaf itu terlontar, tapi toh Ryan tidak pernah berhenti mengulang kesalahan yang sama. Tangannya terulur membelai pipi Ryan,”Apa yang harus kulakukan untukmu, Yan..agar supaya kau bisa sedikit tenang? Aku inikan istrimu..aku tidak akan kemana-mana...”
   Ryan menelan ludah. Terharu. Digenggamnya jari istrinya,”Iya...kau memang istriku...tapi...”
   ”Aku akan berhenti bekerja kalau itu bisa membuatmu tentram.”
   Ryan menggeleng,”Bukan itu...”
   ”Lantas?”
   Ryan tergugu bisu. Riri kembali menatap langi-langit. Menerawang.
   ”Mas Rico tidak akan senang kalau melihat kita begini...bukan ini yang dia kehendaki..”
   Ryan langsung menggenggam lebih erat jari Riri, membuat Riri menoleh. Tampak olehnya Ryan memejamkan mata sambil menunduk.
   ”Itu, Ri...Itu...kau menikahiku karena Rico....aku menikahimu karena cinta...bagaimana aku bisa tenang kalau kau tidak pernah mencintaiku...selamanya aku tidak akan bisa tenang, Ri...”
   Riri terlonjak. Matanya mengembun. Ya, Tuhan...apa yang harus dilakukannya? Mencintai laki-laki ini, dia begitu ingin, tapi tidak bisa. Seluruh cintanya sudah dia persembahkan kapada Rico.
   ”Hm...Ryan...aku memang masih sangat mencintai dia...tapi berikan aku waktu...aku yakin suatu saat nanti aku akan mencintaimu sama seperti aku mencintai dia...tolonglah...jangan bersedih begini. Aku jadi merasa bersalah...” Air matanya menetes. Ryan jadi salah tingkah. Dia biasa menghadapi wanita menangis, tapi tidak Riri. Wanita itu bukanlah tipe wanita cengeng.
   ”Ah, Sayang...sudahlah, kau malah jadi menangis begini...sudahlah...aku akan menunggu sampai kau mencintaiku...aku akan berusaha tidak cemburuan lagi. Sudah, jangan menangis lagi...kau hanya boleh menangis kalau aku mati...sama seperti saat kau menangis ketika dia mati...lain itu, kau tidak boleh menangis, Ri...” Pintanya lirih sambil menghapus air mata Riri. Riri tersenyum sendu. Ah, Tuhan...dia ini begini sempurna, sama seperti Riconya, tapi mereka ini berbeda.

*****


   ”Kau ini kemana saja, Yan? Aku menelponmu dari tadi, tapi HP mu mati? Apa sesibuk itu kamu sampai tidak ada waktu sedikit saja menelponku, heh?! Dan kau lihat sudah jam berapa ini? Pasien macam apa yang bisa menahanmu sampai pulang selarut ini?!”
Ryan hanya bisa mengernyitkan dahi mendengar semburan kata-kata istrinya itu. Sejak kapan istrinya ini jadi begini cerewet. Bicara sampai tidak ada titik komanya.
   ”Ryan! Kenapa diam? Aku bertanya padamu?!” Riri menjerit kesal melihat suaminya itu tidak menjawab apa-apa, malahan menatap heran begitu. Ryan terlonjak, segera mendekat, membelai rambut Riri lembut sambil tersenyum,”Ada apa denganmu, Sayang...mengapa kau jadi marah-marah begini...aku ada pasien gawat tadi, jadi harus segera mengoperasi caesar. Baterai HPku habis, dan aku belum sempat mencharge nya. Hm, bagaimana...apa kau puas dengan jawaban suamimu ini, Ri?”
   Riri mendudukkan diri di kursi. Wajahnya sendu. Diganti-gantinya channel televisi, tidak ada satupun acara yang menarik, dimatikannya sambil membuang nafas jemu. Ryan memperhatikan sejenak, lalu ikut duduk disamping istrinya.
   ”Kau bosan di rumah terus...lebih baik kau kembali bekerja...akukan tidak pernah memintamu berhenti, Ri...”
   Riri menggeleng,”Tidak...aku malas kembali ke rumah sakit...ah, entahlah Yan...aku merasa gelisah terus, bawaannya marah-marah melulu, nggak sabaran...”
   Ryan tersenyum, mengambil koran yang ada di meja, membukanya,”Hm...PMS, ya?”
   Riri menghempaskan punggungnya ke sofa,”PMS apaan...? Sudah dua bulan ini macet!” Jawabnya kesal. Ryan terlonjak. Macet? Dua bulan? Ya Tuhan...jangan-jangan...
Segera ditutupnya koran, ditariknya tangan istrinya masuk ke ruang praktek. Riri ikut dengan bingung.
   ”Kau ini bagaimana bisa sesembrono itu, Ri? Dua bulan macet katamu? Jangan-jangan kau hamil, Nyonya!”
   Riri tersentak. Hamil? Ah, dia tidak terlalu berani berharap. Siklus menstruasinya tidak pernah teratur. Dulu suaminya bilang itu tidak apa-apa, itu hanyalah masalah hormon.
   Riri menatap suaminya dengan tegang. Ryan tampak serius sekali memeriksa perutnya, dan kali ini dia sedang betul-betul memperhatikan layar monitor USG. Semakin tegang rasa hatinya kala suaminya membersihkan perutnya dengan wajah ditekuk kusut.
   “Ada apa? Apa ada mioma? Atau ada kista? Atau...”
   ”Hm...tidak...tidak ada apa-apa...” jawab Ryan pelan. Riri membuang nafas lega, meski hatinya agak sedikit kecewa.
   ”Mulai sekarang kau harus banyak istirahat...tidak boleh memikirkan masalah-masalah berat, banyak makan sayur...jangan lupa minum susu...kau juga harus minum vitamin yang kuberikan...”
   Riri terlonjak. Astaga! Apa-apaan suaminya ini! Dicernanya kembali kata-katanya. Dipandanginya wajah Ryan yang kali ini tampak tak mampu lagi bersandiwara dengan berpura-pura serius.
   ”Kau hamil, Nyonya!” Ryan berkata sambil tertawa lebar. Riri segera bangkit dan memeluk suaminya.
   “Ah, Ryan…aku bahagia sekali…terima kasih, ya…”
Ryan tersenyum sambil mengecup rambut istrinya.
  “Yan…aku mencintaimu...”
Ryan terlonjak. Melepaskan pelukan, menatap serius. Rasanya tak percaya dia akan apa yang didengarnya. Sudah begitu lama dia menunggu kata-kata itu, akhirnya terucap juga. Dan dia semakin yakin kala menatap mata istrinya yang tampak begitu jujur. Sekali lagi Ryan begitu merasa bahagia, karena penantiannya terjawab sudah. Tuhan...terima kasih...
Matanya berkabut menahan air mata haru. Rasanya begitu lengkap semuanya.
   ”Hai! Kau jangan cengeng begitu, Yan! Kau ini sudah akan menjadi ayah!” Sembur Riri. Ryan hanya menanggapinya dengan senyum. Riri tertawa sambil mengecup lembut bibir suaminya.
   ”Terima kasih ya, Ri...terima kasih sudah mau mencintaiku...sudah akan memberiku seorang bayi...aku bahagia..” Bisik Ryan saat Riri kembali memeluknya. Riri hanya bisa menangis haru.


*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar