Panas terik menggigit kulit kepala. Matahari tanpa ampun memancarkan sinarnya memamerkan keperkasaannya. Anginpun tak lagi mampu berhembus sejuk. Kering dan panas. Halaman kampus terlihat sepi. Mungkin para mahasiswanya pada malas menjejakkan kakinya di sana. Melihat cuaca yang begitu tak bersahabat, rasanya lebih enak ngadem di kantin ataupun di perpustakaan. Atau bisa juga duduk-duduk santai di pinggir koridor menunggu jam kuliah berikut, atau langsung pulang saja bila memang sudah tidak ada lagi urusan yang harus diselesaikan di sana. Sama seperti Angga. Jam kuliahnya baru saja berakhir. Sambil menenteng gitar kesayangannya yang sudah tampak butut, dia segera berjalan bergegas langsung menaiki sebuah metromini yang lewat. Bukan untuk pulang, tapi ngamen. Memang itulah pekerjaan sambilannya. Sambil kuliah di sebuah fakultas teknik sipil, dia juga mengamen demi bisa terus kuliah. Metromini tampak sepi. Hanya beberapa saja penumpang yang ada, beberapa diantaranya Angga tahu, mereka teman-teman satu universitas. Meski tak kenal namanya, Angga tetap saja mengamen dengan santai. Tidak bisa dipungkiri, suara Angga memang enak didengar. Serak-serak basah. Seksi kata orang, ditambah wajah yang lumayan tampan, rasanya dia jarang mendapat uang yang sedikit. Angga menyelesaikan lagu Yogyakartanya Kla Project dengan manis. Meski itu sebuah tembang lawas, entah mengapa masih saja enak didengar. Dan saat dia mulai menyusuri para penumpang dengan kantong bekas bungkus permen andalannya, penumpang pun memberikan uang ala kadarnya. Angga sudah bersyukur. Ditebarnya senyum manis pada teman-teman sekampusnya, mereka pun membalas ramah sambil tak lupa memberikan uang. Angga sama sekali tidak risih apalagi malu. Dia harus realitistis. Hidup jauh dari orang tua kalau hanya mengandalkan uang bulanan kiriman yang pastinya tidak banyak jumlahnya, yang hanya mampu untuk membayar kost-kostannya, mengamen adalah pilihan mencari uang terbaik. Halal, dan menyenangkan karena dia begitu suka menyanyi. Dan rasanya ada kepuasan tersendiri bila dia mampu menghibur para penumpang meski tidak semuanya memberinya imbalan, tapi dia tetap saja menjalaninya dengan riang.
Disebuah halte dia turun,”Yuk guys, duluan!” Pamitnya pada sesama rekan kuliahnya. Mereka mengangguk sambil melambaikan tangan.
Angga menjejakkan kakinya di halte yang lumayan ramai. Panas hari ini memang luar biasa menyengat. Tapi Angga tidak memperdulikannya, dia harus segera kembali bekerja.
*****
Angga menyanyikan lagu Sebenarnya Cinta milik Letto yang lagi kondang. Bis yang dinaikinya lumayan penuh meski tidak ada penumpang yang berdiri. Hanya tersisa satu dua bangku saja yang masih kosong. Dari tadi matanya tak bisa lepas dari seseorang yang mencuri hatinya. Dia tidak mampu melihat gadis itu secara utuh, karena sedari tadi gadis itu tampak memandang keluar jendela. Yang menarik perhatiannya adalah mulut gadis itu. Mulutnya bergerak-gerak sesuai dengan lirik lagu yang sedang dinyanyikannya. Entah mengapa dia tersanjung melihatnya. Berarti gadis itu begitu menikmati nyanyiannya. Rasanya tak mau dia mengakhirinya, tapi bagaimanapun dia harus mengakhirinya dan berpindah pada lagu yang lain. Sekilas Angga melirik lewat sudut matanya, gadis itu akhirnya memandangnya juga. Ah, manis sekali. Angga sampai menelan ludah terpesona akan sosoknya. Dan gadis itu tersenyum ke arahnya, Duuh..mimpi apa dia semalam? Dia pun membalasnya meski dengan gugup. Sebuah tembang lawas berjudul Beautiful Girl langsung saja dinyanyikannya tanpa berpikir dua kali. Lagi-lagi gadis itu membuang tatapannya ke jendela, sambil mulutnya ikut berkomat kamit. Angga sampai ingin mendekatinya. Ingin mendengar seperti apa suaranya. Tapi manalah mungkin? Dia cuma bisa memandang tanpa bisa berbuat apa-apa selain menyanyi. Sayangnya dia tidak mampu berlama-lama lagi, karena bis yang dinaikinya sudah hampir memasuki terminal. Segera saja dia menyudahi lagunya, dan bergegas menuju penumpang. Dan begitu sampai pada gadis manis tadi, jantungnya serasa berhenti berdegup. Bukan apa-apa, gadis itu selain memberinya uang dan tersenyum manis, dia juga berujar lembut,”Suara kamu bagus, aku suka.”
Duuh Gusti...sekali lagi Angga melambung. Dia cuma bisa tersipu sambil tersenyum malu, entah mengapa untuk sekedar mengucapkan terima kasih saja dia tidak sanggup membuka mulutnya. Dia terus bergegas menuju tempat duduk berikutnya, karena sebentar lagi penumpang akan berdiri dan turun. Dia bisa kehilangan rezekinya. Dan saat dia membalik, gadis itu sudah lenyap. Angga menoleh-noleh, segera berlari menuju pintu keluar dan turun saat bis mulai berjalan lambat, matanya masih mencari-cari, tapi manalah bisa mendapatkan sosoknya di tengah lautan manusia begini? Angga hanya bisa menghembuskan nafas berat. Dan dengan gontai mulai memasuki bis yang lain.
*****
Sudah beberapa kali Angga berusaha mencari jejak sang gadis manis yang sudah mencuri hatinya itu. Tapi sampai sekarang nihil masih menjadi jawabnya. Dia sudah selalu menaiki bis yang sama pada jam yang sama, tapi entah ke mana gadis manis itu, seperti hilang ditelan bumi. Kalau mengingat perawakannya dan gaya pakaiannya juga tas yang dijinjingnya beserta beberapa buku yang tampak, sepertinya gadis itu mahasiswi sama seperti dirinya. Tapi mahasiswi apa, dari universitas mana? Angga manalah tahu? Di Grogol ini ada beberapa universitas yang berdiri di sana, dia belum segila itu untuk mengobok-obok isinya.
Dengan kesal dihempaskannya tubuhnya ke tempat duduk yang ada di halte. Hari ini dia sedang sial. Sedang enak-enaknya menyanyi, senar gitarnya putus. Malu dia untuk meminta uang pada penumpang, satu lagu yang dinyanyikannya belum juga habis, dia harus terpaksa berhenti. Uh!
Ditatapnya jalan raya yang berdebu lebat lengkap dengan asap knalpot hitam yang menjejali udara panas itu dengan sendu. Hari ini entah mengapa dia merasa tidak seperti biasa. Mungkin sudah putus asa dia mencari sosok gadis manis pujaan, membuatnya tidak bersemangat. Belum lagi kalau ingat senar gitarnya yang putus, dia semakin malas untuk mengerjakan apapun. Angga memang tidak berharap apa-apa, dia cukup tahu diri. Dia cuma ingin memandang gadis itu, cuma ingin menikmati mulutnya yang komat-kamit ikut menyanyikan lagu yang dia nyanyikan, itu saja. Syukur-syukur bisa tahu namanya. Tidak pun tidak mengapa, asal bisa menatapnya saja dia sudah merasa cukup. Tapi dimana dia harus mencarinya? Mencari gadis manis itu?
Dipandanginya gitar bututnya. Dilepaskannya senarnya yang putus. Sayup-sayup dia mendengar suara seorang pengamen lain yang bernyanyi tak jauh dari tempatnya duduk. Angga melirik sekilas. Kembali jantungnya berhenti berdegup. Gadis itu! Ternyata yang menyanyi di ujung sana adalah gadis manis yang sudah dia cari-cari selama ini. Lihatlah, gadis itu kini sedang menatap ke arahnya, tetap menyanyi dengan gitarnya. Angga tertegun, terpesona. Pengamen? Gadis itu pengamen juga seperti dirinya? Segera dia berjalan mendekat, tersenyum semanis mungkin bermaksud menyapa, tapi dia berusaha menunggu gadis itu menyelesaikan lagunya.
“Hai! Kita ketemu lagi..” Sapa gadis itu akhirnya. Angga tersenyum sambil kemudian duduk di sampingnya.
”Iya..Hm, aku Angga..” Angga langsung mengulurkan tangannya. Gadis itu balas menjabat,”Dewi”
“Gitarmu kenapa? Putus senarnya?” Tanyanya ramah tanpa bermaksud meledek. Angga mengangguk pelan,”Iya…yah, lagi sial!”
“Hm..berarti nggak bisa ngamen lagi, dong…”
Angga cuma bisa tersenyum kecut,”Iya.”
“Ngamen bareng aku aja, mau?” Tawarnya tiba-tiba membuat Angga terlonjak. Ya Tuhan..tentu saja dia mau sekali! Tapi…
“Kenapa? Nggak mau?”
“Ah, eh, Hm..ya mau, tapi…”
”Kalau gitu nggak ada tapi...ayo!” Dengan cepat gadis itu langsung menarik tangan Angga dan menaiki sebuah bis yang sedang berhenti. Angga tidak mampu menolak. Bahkan kala gadis itu menukar gitarnya dengan gitar miliknya yang putus senarnya,”Kau yang main, kita nyanyi berdua, ya.” Begitu pintanya Angga cuma bisa mengangguk patuh bak seorang anak kecil saja. Dan mereka pun bernyayi. Awalnya Angga bingung akan menyanyikan lagu apa. Tapi dia teringat lagu milik Letto yang dia nyanyikan tempo hari saat dia bertemu dengan Dewi. Saat Angga memainkan intronya, Dewi tersenyum ke arahnya, Angga sampai goyah. Semakin goyah saat mendengar suara Dewi yang begitu terdengar merdu di telinganya. Angga berusaha mengimbanginya. Dewi mampu mengisi suara dua dengan baik, membuat Angga terheran. Gadis ini begitu mengerti melodi. Tidak ada satu nada pun yang meleset saat dia bernyanyi padahal mereka sama sekali belum latihan. Angga memandang takjub. Ah, hari ini dia begitu bahagia. Sudah lama dicarinya gadis pujaan ini, akhirnya bertemu juga dia dengannya. Malahan bisa ngamen bersama, benar-benar tak terduga. Angga sampai tidak ingin hari ini berakhir.
Dan memang tidak pernah berakhir, karena hari-hari selanjutnya dia dan Dewi selalu mengamen bersama meski sekarang gitarnya sudah tidak putus lagi. Angga begitu bahagia.
*****
Angga duduk terpekur di halte bis yang sepi. Matanya kosong menatap sisa-sisa hujan yang membasahi jalanan yang tadinya kering dan panas. Halte itu adalah halte tempat biasa dia janjian berdua dengan Dewi. Hatinya gundah. Dewi. Gadis itu ternyata bukanlah seorang pengamen biasa. Angga mengetahuinya kemarin saat dia membuntuti gadis itu pulang. Angga benar-benar penasaran akan sosoknya. Gadis itu selalu saja menolak bila dia ingin mengantarnya pulang, selalu saja mengalihkan pembicaraan bila dia menanyakan kehidupannya. Dan dua hari yang lalu, gadis itu kedapatan sedang bicara di handphone yang Angga tahu sekali kalau itu bukanlah HP murahan. Dewi, ternyata gadis itu tinggal di sebuah rumah di kawasan elit. Dan kemarin, Angga memperhatikan dari kejauhan sosok Dewinya yang tampak begitu anggun keluar dari sebuah mobil mewah memasuki rumahnya. Mereka bahkan sempat bertemu pandang. Ah…dia benar-benar tak mengerti.
“Kau melamun, Ngga?” Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang begitu dikenalnya mengagetkannya. Angga terlonjak, menoleh. Tampak olehnya Dewi sudah seperti Dewi yang biasa dia temui. Dewi yang memakai kaos oblong dengan jeans yang robek lututnya, lengkap dengan sepatu butut dan gitar yang tampak usang. Gadis itu mengernyitkan dahi bingung.
“Hai sobat, kau ini kenapa? Menatapiku seperti itu, sepertinya aku ini hantu saja!” Gadis itu tertawa renyah. Angga tidak mampu tertawa. Malahan matanya bertambah sendu. Dewi langsung menghentikan tawanya.
”Hm...kau begini pasti karena kemarin sore kan, Ngga?” Tanya Dewi tanpa menoleh. Matanya menatap murung ke jalan raya yang sekarang disapu gerimis kecil. Angga tidak menjawab. Matanya semakin tampak kosong.
”Aku bosan hidup di sana. Hidup yang penuh dengan aturan dan sopan santun yang menjemukan. Hidup penuh kepalsuan. Aku senang menjalani hidup di jalanan, menyanyi sesuka hati tanpa takut orang akan menghardik, makan di pinggir jalan tanpa perlu takut salah mengambil sendok ataupun garpu. Apa aku salah, Angga...?” Tanyanya lirih. Wajahnya tersembunyi dalam tundukan yang begitu dalam. Angga menoleh, tersenyum,”Tidak...kau tidak salah, Wi...hanya saja semuanya terasa begitu mengagetkan buatku..kalau saja kau berterus terang sejak dulu...aku tidak akan sekaget ini...”
Dewi menegakkan kepalanya, menatap Angga yang tersenyum, dia pun membalas sambil menghapus air matanya yang sempat meleleh,”Berarti kau masih mau kan berteman denganku...masih mau kan mengamen bersamaku...masih...”
”Tentu saja..!” Jawab Angga cepat sambil menarik tangan Dewi dan mengajaknya berlari untuk mengejar bis yang hampir saja pergi.
”Asal kau masih mau menyanyi bersamaku yang benar-benar seorang pengamen jalanan, bukannya seorang dewi seperti dirimu...” Sambungnya. Sayang bis itu tidak mau berhenti. Berjalan dengan cepatnya sambil menyisakan hitamnya asap knalpot yang melumuri keduanya.
”Jangan pernah mengungkit itu lagi, Ngga. Aku ingin kau tetap menganggapku Dewi yang seperti biasa.”
Angga hanya bisa menatap takjub. Gadis di sampingnya ini begitu luar biasa. Tampak senyumnya terkembang. Dianggukkannya kepalanya dengan pasti. Ah Dewi...kamu memang seorang Dewi...
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar